Kalian udah pada tau yang namanya termometer kan? Yup, termometer adalah alat untuk mengukur suhu. Biasanya termometer terdapat di rumah sakit atau di laboratorium, tetapi kalian bisa buat termometer sendiri dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Penasaran? ayo kita bikin yuk.
Alat dan Bahan
Air atau alkohol
Pewarna
Botol
Sedotan
Malam atau tanah liat
Langkah Pembuatan
Tuangkan sedikit air yang diberi warna ke dalam botol.
Masukkan sedotan minuman hingga menyentuh permukaan air dalam botol.
Tutup dengan rapat-rapat sekeliling ujung lubang leher botol dengan tanah liat sehingga tidak ada udara yang bisa masuk.
Gosok dengan tangan botol tersebut dan jika diperhatikan baik-baik air dalam sedotan akan mulai naik.
Penjelasan Konsep
Ketika kita menggosok-gosok botol tersebut dengan tangan, udara yang tertutup dalam botol memuai karena gaya gesekan antara tangan dan botol. Molekul-molekul bertabrakan makin cepat dan lebih keras. Udara menekan permukaan air dan air naik ke dalam pipa sedotan, sehingga kedudukan permukaan air dalam pipa sedotan menunjukkan derajat panas. Dalam termometer biasa yang memuai adalah raksa yang berada dalam pipa kapiler.
ADA tiga buah karya Iqbal dalam bentuk puisi yang dipandang sebagai karyanya yang terpenting, karena di dalamnya ia memberikan bentuk pengucapan artistik pada gagasan-gagasan filsafatnya yang luhur. Yang pertama, Asrar-i Khudi, terbit pada 1915. R.A. Nicholson membuat versi prosa atas karya ini dalam bahasa Inggris, berjudul The Secrets of the Self (Macmillan, 1920). Yang kedua, Rumuz-i Bekhudi, terbit pada 1918. Terjemahan pertama dalam bahasa Inggris atas karya ini, berbentuk puisi tak bersajak (blank-verse), dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, The Mysteries of Selflessness (John Murray, 1953).
Seperti ditunjukkan oleh judulnya, tema pokok dari kedua karya itu ialah the Self (diri atau pribadi manusia), human ego, dalam hubungannya dengan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dan kedudukan masyarakat Islam di dunia seutuhnya. Seperti juga sekalian orang Islam yang sensitif di India dan wilayah-wilayah lainnya, Iqbal amat sedih melihat perbedaan yang menyolok antara Islam di zaman kejayaannya dengan Islam di zaman modern, ketika sebagian besar negeri Islam telah jatuh ke dalam status daerah jajahan. la melihat satu-satunya harapan untuk membalikkan proses kemerosotan ini terletak pada regenerasi setiap pribadi umat Islam dan kerja sama antara pribadi-pribadi yang telah bangkit kembali dalam suatu Masyarakat Mukmin yang bersatu. Pembeberan filosofis yang lebih lanjut tentang ajaran Iqbal yang berhubungan dengan the Self ini, dalam bentuknya yang paling matang, dapat dibaca dalam kumpulan ceramahnya yang diberi judul, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Oxford University Press, 1934), terutama bab I[V "The Human Ego: his freedom and immortality".
Baik Asrar-i Khudi maupun Rumuz-i Bekhudi (yang ditulis dalam bahasa Parsi) disusun dalam bait-bait yang bersajak, mengikuti tradisi yang sudah amat lama dalam puisi didaktik Persia sejak kira-kira seribu tahun yang lampau. Matra yang dipilih Iqbal untuk kedua karyanya itu ialah ramal-i musaddas-i maqsur, sama dengan yang dipergunakan oleh penyair sufi Persia terbesar, Jalal-ud-Din Rumi (1207-1273) dalam karyanya yang terkenal, Masnawi. Satu hal yang patut mendapat perhatian dalam kelaziman bentuk puisi didaktik ini ialah bahwa untuk meringankan bobot pembeberan formal dalam karyanya, sang penyair sesekali memasukkan anekdot-anekdot yang ilustratif sifatnya. Iqbal pun menyesuaikan diri dengan kelaziman ini.
Namun karya ketiga di antara trilogi itu, Javid-namah, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di sini, amat menyimpang dari pola demikian. Javid-namah dimaksudkan sebagai sajak cerita (narrative poems) atau lebih tepat lagi drama bersajak (poetic drama), di mana amanat didaktiknya dituangkan dalam ucapan para pelakunya. Selain itu, sesuatu yang baru pula dalam karya ini ialah adanya penyisipan lirik-lirik dengan beragam matra dan dengan sajak tunggal (monorhyme) yang merupakan ciri khas ghazal Persia, dan dapat menimbulkan efek makin bertambah besarnya tegangan puitik keseluruhan lirik itu.
Javid-namah menggambarkan perlawatan rohani yang dilakukan sang penyair dari bumi lewat "daerah-daerah" Bulan, Mercurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus, hingga di luar segala "daerah" itu, dan di Hadirat Ilahi. Teladan uniuk itu, dalam Islam, dapat kita temukan dalam mi'raj Nabi Muhammad yang terkenal itu. Dalam mi'raj itu, dengan berkendaraan buraqsemacam kuda bersayap-dan ditemani )ibril sebagai penunjuk jalan, Nabi Muhammad menyinggahi ketujuh langit dan di sana bertemu dan bercakap-cakap dengan nabi-nabi yang terdahulu, mulai dari Adam di langit pertama hingga Ibrahim di langit ketujuh, sebelum menikmati kebahagiaan tertinggi, yakni percakapan dengan Tuhan. Mi'raj Nabi niscaya menjadi pokok renungan dan teladan untuk mengembangkan martabat kerohanian bagi setiap orang Islam yang saleh dan kaum sufi sepanjang abad-abad berikutnya. Demikianlah Iqbal pun tak kekurangan contoh dan teladan ketika ia mempergunakan wahana yang amat populer itu untuk mengungkapkan ajarannya tentang regenerasi umat Islam dan penginsafan kepribadian mereka dalam karya terakhir di antara triloginya itu. Sebagai penunjuk jalan dalam perlawatan itu dipilihnya Jalal-ud-Din Rumi, penyair sufi Persia yang amat ia kagumi bahasa, gaya bahasa dan pikiran-pikirannya. Sedang tokoh-tokoh yang ia jumpai dalam perlawatan itu tidak terambil dari para nabi menurut urutan zaman dan martabatnya, melainkan dari mereka yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah Islam, terutama dalam periode-periode yang kemudian.
javid-namah yang ditulis Iqbal dalam bahasa Parsi seperti dua karyanya yang terdahulu di antara triloginya itu, terbit pada 1932. S.A. Vahid menilai karya itu sebagai "magnum opus" Iqbal. Ada pula yang menilainya setingkat dengan Shah Namah karya Firdausi, Masnawi karya Rumi, Gulistan karya Sa'di dan Diwan karya Hafiz. Karya Iqbal ini telah sering diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Terjemahan yang pertama ialah dalam bahasa Itali oleh Prof. Alessandro Busani dengan judul, II Poema Celeste (Roma,1952). Ada juga sebuah versi sajak dalam bahasa Jerman yang ditulis oleh Prof. Annemarie Schimel dengan judul, Buch der Ewigkeit (Munich, 1957). Di samping itu, terdapat pula sebuah versi dalam bahasa Prancis yang dikerjakan oleh E. Meyerovitch dan Mohammed Mokri dengan judul, Le Livre de l'Eternite (Paris, 1962). Sementara sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris terbit di Lahore pada tahun 1961 oleh Shaikh Mahmud Ahmad dengan judul, The Pilgrimage of Eternity. Demikianlah karya itu telah mencapai kalangan pembaca internasional, dan telah menduduki tempat yang layak di antara karyakarya klasik modern dalam sastera dunia.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia yang disajikan di sini dikerjakan berdasarkan teks terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh A.J. Arberry dengan judul, Javid-narna, dan diterbitkan pertama kali pada 1966 oleh George Allen & Unwin Ltd, London. Arberry menerjemahkannya dari bahasa aslinya, Parsi, dan mengusahakannya untuk berpegang sedekat mungkin pada arti aslinya. Bagian-bagian yang tak segera dapat dipahami disebabkan oleh referensi-referensi yang sulit dijangkau dan lainlain dapat dijelaskan dalam catatan singkat yang terdapat pada halaman-halaman terakhir buku itu. Dalam teks Parsi dibubuhkan "Ucapan pada Javid", putera sang penyair yang namanya dipergunakan untuk judul karyanya itu. A.J. Arberry meniadakan bagian ini, karena bukan bagian dari keseluruhan karya itu, dan karena penerjemah-penerjemah lain yang terdahulu pun menghilangkan bagian itu pula.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia diusahakan sedekat mungkin dengan maksud yang terkandung dalam teks Inggris dari Arberry. Catatan yang diberikan pada halaman-halaman terakhir teks lnggris itu diberikan sebagai catatan kaki pada setiap halaman yang memerlukannya dalam terjemahan Indonesia ini, dengan maksud agar dapat dipergunakan lebih langsung.
Karya Attar, yang dalam bahasa aslinya berjudul Mantiqu't-Thair dan berbentuk puisi yang berwatak mistis religius, agaknya ditulis dalam pertengahan kedua abad kedua belas Masehi. Sejak waktu itu, setiap selang beberapa tahun terbit edisi baru di negeri-negeri Timor Tengah dan Timur Dekat.
Terjemahan bahasa Indonesia atas karya itu dikerjakan dari teks terjemahan bahasa Inggris dari C. S. Nott, berjudul The Conference of the Birds.
Semula Nott mengerjakan terjemahan itu terutama untuk kepentingan sendiri dan beberapa sahabatnya; tetapi karena terjemahannya itu merupakan terjemahan paling utuh yang pernah terdapat dalam bahasa Inggris selama itu, maka agaknya telah menarik kalangan publik yang lebih luas. Maka diterbitkanlah The Conference of the Birds itu buat yang pertama kali pada tahun 1954 di London dan selanjutnya buku itu beberapa kali mengalami cetak ulang.
Dalam penterjemahan ke bahasa Inggris, buat sebagian besar Nott mempergunakan terjemahan
Garcin de Tassy dalam bahasa Perancis yang berbentuk prosa dan yang dikerjakan dari teks bahasa Parsi yang diperbandingkannya dengan teks dalam bahasa Arab, Hindu dan Turki (Paris, 1863). Di samping itu, Nott juga mempergunakan sumber penjelasan dari teks dalam bahasa Parsi lewat sahabatnya, seorang Sufi, di samping juga dari terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris yang masih ada. Dari yang tersebut terakhir itu ia mempergunakan tiga buah terjemahan, yang semuanya kelewat diperingkas. Yang pertama terjemahan Edward Fitzgerald, bersajak dan agak sentimental; yang kedua terjemahan Ghulam Muhammad Abid Saikh, terlalu harfiah, berupa 1170 bait dari 4674 masnawi dalam bahasa aslinya (India, 1911); yang ketiga (dan yang terbaik dari semuanya itu) ialah terjemahan Masani, berbentuk prosa, meskipun hanya kira-kira setengah dari aslinya yang diterjemahkan (Mangalore, India,1924). Ketiga buah terjemahan itu sudah lama tidak dicetak lagi. Terjemahan Garcin de Tassy lengkap, dan, seperti dikatakannya, "seharfiah yang dapat saya usahakan untuk bisa dimengerti." Tassy juga mempertahankan keharuman, semangat dan ajaran puisi Attar itu.
Dalam terjemahan Inggris itu Nott tidak menyertakan paroh terakhir dari Madah Doa -- dalam teks Hindu bagian itu tidak terdapat, dan dalam teks Turki diperingkas. Tentang Akhirul Kalam yang mengakhiri karya Attar itu, Nott hanya menyertakan bagian pertamanya, karena selebihnya, oleh sebab terdiri dari cerita-cerita kecil (anekdot), akan merupakan antiklimaks. Dalam teks-teks Hindu dan Turki Akhirul Kalam itu dihilangkan sama sekali, sedang dalam manuskrip-manuskrip lain berbeda-beda adanya. Nott juga tidak menyertakan atau hanya menyarikan saja beberapa cerita kecil (anekdot) dalam karya Attar itu, baik karena cerita-cerita kecil itu terasa bersifat mengulangulang atau karena artinya "gelap". Tetapi segala yang berhubungan dengan "Sidang" atau "Musyawarah" Burung-burung itu, sebagaimana yang dituturkan dalam manuskrip aslinya, disajikan dalam terjemahan Nott itu.
Dalam penomoran bagian-bagian, Nott mengikuti terjemahan Tassy, yaitu menurut manuskrip aslinya.
Nott membubuhkan pula catatan-catatan tentang Attar dan Kaum Sufi. Untuk ini, di antara sumber-sumber lain, ia mempergunakan sumber keterangan dari The Dictionary of Islam dan Encyclopaedia of Islam. Kecuali itu, ia pun membubuhkan pula Glossarium dengan maksud agar pembaca, dengan lebih dulu membaca keterangan-keterangan dalam Glossariurn itu, akan dapat menangkap lambang-lambang, kias dan sebagainya yang terdapat dalain karya Attar itu dengan lebih jelas.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di sini sepenuhnya mengikuti terjemahan Inggris Nott. Hanya Glossarm itu tidak diberikan sebagai bagian yang tersendiri, melainkan diberikan di sana-sini sebagai catatan kaki, dan itu pun hanya diambil mana yang kiranya perlu dijelaskan bagi pembaca Indonesia. Sementara itu, dalam menelaah karya Attar (dari terjemahan Nott), penterjemah Indonesia banyak menemukan bagian-bagian yang dapat dicari rujukannya dalam Al-Quran. Dan dengan menemukan rujukan-rujukannya dalam Al-Quran, bagian-bagian yang semula gelap baginya, dapat dicerahkan. Hal-hal demikian, dalam terjemahan Indonesia, dibubuhkan pula sebagai catatan kaki. dalam mencari rujukan-rujukan dalam Al-Quran itu penterjemah Indonesia mempergunakan The alcuning of the Glorious Koran dari Mohammed Marmaduke Pickthall, di samping The Holy Qur'an dari Maulawi Sher 'Ali.
Demikianlah catatan-catatan kaki itu, seperti juga Glossarium dalam terjemahan Nott, dimaksudkan untuk seberapa mungkin mencerahkan bagian-bagian yang gelap dalam karya Attar itu.
Munir adalah pejuang Hak Azasi manusia, yang diracun dalam perjalanan dengan pesawat terbang ke Belanda menjelang akhir 2004. Hal ini merupakan tragedi hak azasi manusia yang mampu menyeret penegakan hukum dan keadilan hak azasi manusia di Indonesia menuju pada masa-masa gelap seperti yang dialami banyak kekerasan dan tragedi kemanusiaan, diantaranya tragedi G30S 1965, Tragedi Kemanusiaan DOM Aceh, Tanjung Priok, Tragedi Semanggi 1998, dan serentetan pelanggaran hak azasi manusia yang tidak dituntaskan secara hukum dan berkeadilan. - Berikut adalah kumpulan penulis puisi yang terkemas dalam buku NUBUAT LABIRIN LUKA "Antologi Puisi Untuk Munir" yang diterbitkan oleh Sayap Baru & Aceh Working Group - November 2005
Aku Ingin Bercerita ( Aliyah Purwanti)
Hanya Kata ( Anik Sulistya Wati)
Dua Tiupan Angin di Awal Musim (Anik Sulistya Wati)
Cak Munir di Awan ( Asep Sambodja)
Tentang Kematian ( Azizah Hefni)
Ruang Setelah Dunia ( Azizah Hefni)
Hidup Saat Mati Basilius (Andreas Gas)
Kemerdekaan Semu Basilius (Andreas Gas)
Di Belakang Munir (Ben Abel)
Omku Munir Sudah Pergi (Bima Dirgantara Putra)
Pesta Bakar Ikan (Bima Dirgantara Putra)
Kau Berhenti (David C. Naingolan)
Di Langit (David C. Naingolan)
Ibu Belum Pernah Jadi Janda (Denny Ardiansyah)
Matinya Seorang Pejuang (Dino F. Umahuk)
Kebenaran Itu Luka (Dino F. Umahuk)
Kucium Aroma Setan (Djodi B. Sambodo)
Kisah Pohon Munir (Djodi B. Sambodo)
Tanpa Salam (Donny Anggoro)
Boleh Saja Kau Menjauh (Donny Anggoro)
Nyanyian Burung dan Bunga (Eka Budianta)
Sejaman Bersama Munir (Eka Budianta)
Munir - Bagaimana Bisa ( Emil Wahyudianto)
Percakapam Dengan Dua Orang Kawan (Eko Sugiarto)
Obituari (Eko Sugiarto)
Waktu Beku ( Frigidanto Agung)
Maha Rukhmi (Frigidanto Agung)
Asasi Hadi (Eko Suwono)
Pejuang Hadi (Eko Suwono)
Sajak Terakhir untuk Munir (Hartono Beny Hidayat)
Orang Hilang di Pesawat Terbang ( Hasan Aspahani)
Tinggal Telanjang ( Henny Purnama Sari)
Kidung September ( Indrian Koto)
Bluess untuk Si Mati ( Indrian Koto)
Subuh Ini Air Mataku Menziarahi Makammu ( Leo Kelana)
Ode untuk Cak Munir ( Luka Muhamad)
Ketika…. ( Luka Muhamad)
Suatu Sore di TMP Kalibata ( dr. M. Amin)
Munir : Sepertimu Aku Sedang Terbang Melayang ( Mega Vristian)
Setangkai Mawar Putih Untuk Munir (Mega Vristian)
Mataku Berdarah Penuh Asap dan Marah ( Mila Duchlun)
Bagimu Pahlawan Orang Hilang (Muhammad Muhar)
Selamat Jalan Cak Munir…. (Muhammad Muhar)
Jalan Berbatu ke Rumah Damai ( Naldi Nazir)
Di Stasiun Itu Kita Bertemu (Nanang Suryadi)
Jejak (Nining Indarti)
Suratku Buatmu (Rini Fardhiah)
Sudah Sejak Dulu (Rini Fardhiah)
Suara-Suara ( S. Yoga)
Doa Dalam Kubur (S. Yoga)
Cak Saeno (M. Abdi)
Parabel (Saut Situmorang)
Ziarah ( Seto Nur Cahyono)
Kereta Terakhir ( Seto Nur Cahyono)
Munir (Setiyo Bardono)
Rencana yang terkepak (Setiyo Bardono)
Nubuat Para Penyair (Sihar Ramses Situmorang)
Buat dan Tentang Munir ( Sobron Aidit)
Kunang-Kunang di Ujung Malam ( St. Fatimah)
Kekasih Luka (St. Fatimah)
Kaum Merdeka( Stevi Yean Marie)
Hempas Gelombang (Stevi Yean Marie)
Sajak untuk Munir ( Sutan Iwan Soekri Munaf)
Catatan Tak Pernah Sudah ( Sutan Iwan Soekri Munaf)
Bunga Apel di Atas Menara ( Titik Kartitiani)
Negeri yang Kuharap Bukan Negeriku (Titik Kartitiani)
saatku berjalan... diatas butiran pasir putih kuberdiri sejenak dibawah pohon kelapa terasa damai dan sejuk saat anginpun menyambar... tubuh yang kaku ini menjadi segar kembali
kulihat indahnya... lautan biru tepat didepan mataku melukiskan pesona alam yang hidup dalam panorama keindahan
deburan ombak... bagai memanggil sukma jiwa... yang kelam kelabu menjadi aurah yang ceria
pancaran sinar mentari sungguh menyengat bagai melepuhkan kulit hingga hangus ku coba tuk berlari tuk tidak merasakannya sambil berteriak tuk melepas kejenuhan
sungguh pemandangan yang indah terasa tuhan... mengetuk lubuk hati yang paling dalam ini sedalam - dalamnya... samudera dunia untuk selalu ingat akan kuasanya yang semesta.
Oh... ibu... Engkaulah tempat curhatku Disaatku sendiri, sedih, resah Kau selalu datang menghiburku
Tanpamu oh... ibu hidupku hampa Bagai tak punya gairah Bagai tak punya cinta Bagai tak punya kasih sayang
Ibu... Engkau pahlawan sejatiku Yang selalu ada dalam naunganku cinta dan kasihmu ibu... takkan pernah lekang Dari benakku Karena kau adalah belahan jiwaku
ku rindu harum mu.. ku rindu udara mu.. ku rindu suara mu.. ku rindu nyanyian mu.. ku rindu bisikan denai mu.. ku rindu deruman arus sungai itu.. ku rindu segala alam tanah ku..
anak bangsa ku.. mampu kah menjaga mu.. atau hanya sekadar melihat kaku.. hanya lah merenung syahdu.. hancur nya tanah dan pusaka moyang ku.. ditarah dan ditarah terus ditarah.. rakus anak bangsa ku.. terlalu rakus..
Soel J. Said Oesy dilahirkan di Usi Dayah Mutiara-Pidie, 11 Mei 1965, belakangan kembali menulis namanya Sulaiman Juned, mantan mahasiswa Unsyiah ini sekarang mengabdi sebagai Dosen di ASKI Padang Panjang - Sumbar. Dan saat ini sedang menempuh pendidikan lanjutan di Surakarta - Jawa Tengah.
Lahir di Surabaya, Jawa Tinlur 21 Juli 1962, mulai menulis dan mempublikasikan puisi-puisi, cerpen dan artikel sejak tahun 1978 diberhagai media massa. Saart ini menetap di Jakarta dan merupakan anggota Dewan Pendiri maupun Dewan Pengurus dari Komunitas Sastra Indonesia atau KSI dan juga anggota Dewan Pendiri/ Pengurus dari Organisasi Pembina Seni atau OPS. Puisi-puisinya tergabung dalam " In Solitude "(Antologi Tunggal, 1993), " Festival Puisi XIV " (PPIA-Surabaya, 1994), "Trotoar" (Penyair Jabotabek,1996), "Jakarta, Jangai lagi" (Kolong Budaya, 1997) lan diberhagai antologi lainnya yang terhit di Indonesia dan juga di luar Indonesia.
Pegawai Dinas Pertanian Tanaman Pangan Aceh Barat ini dilahirkan di Meulaboh, 16 Januari 1964. Beberapa puisinya sempat dimuat dalam Antologi Sastra Aceh "Seulawah" (Yayasan Nusantara Jakarta/Pemerintah Daerah Aceh, 1995)
Lahir di Lubuk Pakam (Deli Serdang - Sumut), 22 Desember 1974, berdarah Aceh asli, Arafat besar dan menempuh pendidikan di Aceh. Pernah jadi tenaga pengajar di Dayah Babussalam (1992- - 1999) dan menjadi pegawai honorer SMU Meureudu-Aceh Pidie (1994-1999). Lalu pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jurnalis. Dia dipercaya sebagai Ketua Divisi Sastra pada Yayasan Komunitas Ranub Aceh (KRA). Menulis puisi, cerpen dan artikel di berbagai media massa. la pernah mengikuti pertemuan Sastrawan se-Sumatera yang di selenggarakan DKA/Lempa di Banda Aceh (1999). Pernah mendapatkan hadiah terbaik lomba penulisan cerpen Taman Budaya Aceh (1999), Harapan I Lomba Cerpen Telkom Online 2005 menyambut hari Kartini, juara III Nasional lomba penulisan novel Forum Lingkar Pena (2005). Puisinya ikut dalam antologi "Keranda-keranda" (DKB,2000), "Aceh dalam puisi" (Assy-syaamil,2003), "Mahaduka Aceh" (PDSHB.Jassin,2005), sedang cerpennya dimuat dalam antologi cerpen "Remuk" (DKB,2000). Novelnya yang telah terbit adalah "Meutia Lon Sayang" (dar! Mizan,2005), "Cinta Mahasunyi" (dar! Mizan,2005) dan "Percikan Darah di Bunga" (Zikrul Hakim,2005). Beberapa novel lainnya sedang dalam proses penerbitan.
Lahir di Bireun, 8 Agustus 1972. Bekerja sebagai wartawan di Harian Serambi Indonesia (Banda Aceh) sejak tahun 1997 sampai 2004. Kini menjadi Stringer Koran Jepang Asahi Shimbun di Aceh. Aktif di Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) kota Lhokseumawe dan menjabat sebagai Ketua (2005-2007). Puisinya antara lain di muat dalam Kumpulan Puisi Bersama, "Aceh Dalam Puisi "(2004) dan " Maha Duka Aceh " (2005)
Pensiunan pegawai negeri di Departemen Perhubungan ini, di lahirkan di Lama Inong (Aceh Selatan/sekarang Aceh Bast Daya-Abdya) tanpa pernah menuliskan tahunnya. Di besarkan di Meulaboh dan banyak menimba ilnu di Medan. Saat tinggal di Meulaboh, ia bersama beberapa rekannya mendirikan teater " Fajar Menyingsing ". Aktif menulis cerpen, puisi, bahkan novel di tahun 1970. Dua novelnya yang terpenting adalah " Catatan Seorang Hostess " (Majalah Mayapada Jakarta, 1971), " Berikan Aku Cinta " (Harian Palapa, 1974). Tahun 2002 ia di percaya sebagai Ketua Penyunting Antologi Puisi/Cerpen Penulis Acch " Putroe Phang " (Dewan Kesenian Aceh, 2002). Salah satu cerpenis terkemuka Aceh ini dalam musibah Tsunami lalu, kehilangan rumah dan seluruh harta benda.
sangkuriang ngaran kuring ti beurang_tukang caringcing ti peuting tukang ngalinjing neangan indung nu nundung ah! kuring hirup nyingkahan kabingung nyingkahan rurubed nu jolna ti aing bongan kiwari geus taya wanci mustari rea teuing sangkuriang geus musna beurang alam geus ilang dangiang tinggal peuting anu panjang cul hanca, ngadukduk acong-acongan cul raga muru muru nu acan karuhan
sangkuriang ngaran kuring nu dibapaan ku badega da bongan indung nu linglung ngucap jangji tanpa ungang-ungang indung ! bongan saha medalkeun sangkuriang kitu cek ajali tangtu kaharti tapi naha ? dayang sumbi ngudar ucap apan cek tadi sangkuriang baris mondong nyai putri nu ninun puluh taun tapa bari sewot kana barera bongan geus nyieun carita ngagurat di nu kiwari alam ! anjeun musuh nu weduk ku teluh nu ngayuga! ieu kuring geuwat ropea ulah dijieun teundeun poho bisi dunya ditangtang ka tengah kalang tanpa sisi
sangkuriang ngaran kuring ! prak raponan samemeh dunya awut-awutan, panonpoe disosoeh samemeh balebat ngan kari urut bongan geus nyieun ebat ka sangkuriang anu linglung eh istijrad! nyata anjeun teu beunang dipisobat tangtu ku aing ditenjrag ieu kuring sangkuriang menta hirup mangsa bulan mun geus kembar najan napsu rek dikencar-diumbar.
(Katineung ti kuring ka kuring patali mangkukna 6 Agustus ulang taun )
Rek ngeumbing-ngeumbing ka mendi rek muntang-muntang ka mana rek nete da sieun semplek rek nincak da sieun semplak mundur jurang maju jungkrang sagala lampah kapahung katineung samar kasorang
Hayang nyorang nyanding peuting lugina ngawasa beurang sugema kuma ceuk hate da hate tara kabandang najan raga dipanjara dikerem tur ditalikung mo kahalang kumelendang
nyoreang ka alam tukang jaman tandang ku pakarang prang-pring bambu runcing; maju rampak ngabedah bentenq maju... maju...! malar buru-buru cunduk ka peuntas ditu ka taman endah nu marakbak tembong bangun teu anggang panyileukan umat nu lapar ku kawibawaan jeung kaadilan
kiwari geus meh sapuluh taun kebat lumampah nyorang jalan nu teu diamparan ku kembang maju bari nahan kanyeri nincakan karikil seukeut tapi itu taman panyileukan bet masih jauh, semet tembong lapat lapat ya robbi ! sihoreng bet tembong gelor ...
rombongan nu asal rempeg ngahiji sabilulungan ayeuna aya nu misah ngadon leumpang sasamayan sawareh geus robah kiblat, kabengbat ku nu ngalalar saliwat tapi nu bedas tekadna, leuwih suka rubuh tengah jalan tibatan mengkol elodan, atawa mulang ngaligincing lantaran kecing bari yakin yen mungguh tangkal ros rimbil ku cucuk sarta nu jejerih kacugak, mo laksana bisa metik !
dalah ieu di saparat-parat jalan nu keur disorang tembong getih ucrat acret tapak-lacak nu ti heula mangrupa bukti sajarah perjoangan nu natrat tan kena pegat ana kitu : mun ieu jalan kiwari kudu dicirian deul ku cipanon jeung getih ' taya basa geusan ngarasula dapon percaya yen di ahir pasti bisa cunduk ka peuntas ditu laksana bisa ngambah taman endah panyileukan beurang peuting : kawibawaan nu walatra amisna keur sarerea !
layung kuning teu matak resmi marakbak panas ngarerab mojang desa geus teu bisaeun imut ah ! ah! sareupna lawang siksaan
malakamaot ngabring marengan peuting godogan timah ti naraka jahanam panas ngagolak tapi geus taya umat ceurik jumerit da rek ngajerit, taya tanaga rek ceurik, cipanon garing
itu panon-panon surem carelong waruga nu ngan tinggal kulit + tulang hamo mampuh mareuman seuneu naraka
tapi mun ieu padesan geus robah jadi rumahgila endahna layung jeung imutna mojang desa baris pulih sabihari.........
nyeri peurih nyeueung keretas ngagebar daptar kalaparan nu ditulis ku cipanon
waruga manusa begang-regeng tingkorondang dipirig ku lengisna budak yatim umat nagara merdika !
eta leungeun deungeun ngaragamang rek maksa-pirusa nyontang Irian tempat cendrawasih midang
kanca ! sageuy rek dengdeng reheng pagetreng silih herengan atawa basilat ngeduk hak rayat
tur anjeun nyaksi yen bangsa jeung nagara kiwari jeroning sangsara jeung bahla bosen ngagorowok sing gulung-golong sabilulungan tapi mun teu kiwari rek iraha deui ???
Wah ada-ada aja nih yang punya blog, masa buah dijadiin baterai dimana-mana enaknya juga dibikin rujak pasti seger. Believe it or not kita dapat menyalakan sebuah lampu kecil dengan menggunakan buah. Kalo begitu mari kita langsung buat saja.
Alat dan Bahan
Kentang (disini kita pakai kentang, tapi kalian menggunakan lemon atau buah lainnya jika tertarik)
Lampu LED (atau lampu bohlam kecil juga bisa)
Kabel
Penjepit buaya
Lempengan tembaga
Lempengan seng
Untuk pengganti tembaga dan seng ini dapat digunakan isi dalam baterai yang biasanya berwarna hitam
Langkah Pembuatan
Tusukkan lempengan tembaga dan seng ke dalam kawat mentah.
Jepitkan kabel kepada lempengan tersebut dan hubungkan dengan lampu.
Lihat nyala lampu yang terjadi.
Jika nyala lampu belum kelihatan, maka tambah kentang tersebut agar arus listrik yang dihasilkan bertambah besar (lihat pada gambar).
Penjelasan Konsep
Lampu tersebut dapat menyala karena adanya arus listrik yang mengalir. Seperti halnya baterai lampu senter, kentang dan lempengan-lempengan itu pun menghasilkan arus listrik walaupun sangat lemah. Getah kentang mempengaruhi logam-logam itu secara kimiawi layaknya larutan elektrolit dalam aki. Oleh akren aitu, susunan seperti ini disebur elemen galvani, karena yang pertama kali mengamati proses ini dalam eksperimen ialah seorang dokter Itali bernama Galvani.
Natasha Josefowitz calls herself a late bloomer, having earned her master's degree at age 40 and her Ph.D. at age 50. She is an adjunct professor at the School of Social Work at San Diego state University, a noted columnist, and the author of three books on management, eight books of humorous verse, a book for children, and a book for couples.
Dr. Josefowitz is an internationally known speaker, having lived and worked abroad and in the U.S. Her efforts on behalf of women have earned her numerous awards, including The Living Legacy Award from the Women's International Center and The women Helping women Award from the Soroptimist International. She has been named woman of the Year eve times by various national and international organizations, including the women's management Association, and was also honored by California women in Government for her contributions to education.
Natasha is the mother and stepmother of five children and has seven grandchildren and step-grandchildren. She is grey-haired, wrinkled, and has a few extra pounds, but says she can celebrate life because she has PMZ (Post-menopausal zest).
Kembali ... Aku di dera sepi Kembali ... Rasa getir terundang Melodi duka menyalur Menggores luka baru Tiada bosan Bagai mengiris hatiku ... Yang sedang terluka Memori cinta ... Bagai tak bersemi kembali Cintaku tlah kau bawa pergi Kaupun bagai menghilang ... Tanpa tinggalkan noda Dalam jejak. Kini kusendiri ... Tanpa cinta dan harapan Kini hanya rembulan Dan bintang kejora Menemaniku ... saat Bersenandung ... sedih.
terdiam terpaku di gelap malam di temani oleh seberkas cahaya bulan sambil mendengarkan suara merdu binatang malam angin nakal meniup abu rokok yang ku hisap angan melayang jauh ke negeri nirwana mencari apa yang sebenarnya kurasa rasa cemburu atau rasa egois dalam dada hari makin malam suasana makin hening mencekan cahaya bulan mulai kembali keperaduannya namun sedikit cahaya masih menyinari jidat kinclongku walau hanya seberkas bayangan
Pertama kali, dalam hidupku Ku merindui mu setakat ini Tiada pengujungnya Perasaan ini Hidupku bersempadankan kasihmu Ku tidak mengerti pergolakan hati ini Ku merindui tawa manismu Merindui memori bersamamu Tiap hari yang berlalu bagaikan api neraka yang membakar kasih antara kita Jiwaku meronta tidak mampu menahan baraan ini hanya dirimu menjadi ubat penenang hati hanya coretan ini menjadi saksi keperitan hati tanpamu disisi, hidupku bagai langit tanpa rembulan gelap gelita tanpa tawa manismu ku mengerti perpisahan memang hukum alam namun hatiku belum cukup kuat untuk mengharungi hidup ini tanpamu disisi tiap kali ku merenung wajahmu, kelopak mataku berat tidak mampu menakung keperitan yang terpendam pipiku sering kali basah bila mendengar suara lunakmu Ku serahkan segalanya kepada yang Esa ku bersyukur ke hadratmu keranamu ku kenal erti teman dalam hidupku sesunggunya pertalian ini bermula atas rahmatmu ku harap pengujungnya sudah pun tercatit dalam kandunganmu ku pasrah menanti dengan segala keputusanmu dan mempersiapkan diri ini untuk mengadapinya….
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat Ph.D. dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian, ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai saksi terang-terangan, Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Saudara-kandungku pulang perang, tangannya merah Kedua pundak landai tiada tulang selangka Dia tegak goyah, pandangnya pada kami satu-satu Aku tahu kau kembali jua anakku
Tiba-tiba dia roboh di halaman dia kami papah Ibu pun perlahanmengusapi dahinya tegar Tanganku amis ibu, tanganku berdarah Aku tahu kau kembali jua anakku
Siang itu dia tergolek ibu, lekah perutnya Aku tak membidiknya, tapi tanganku bersimbah Tunduk terbungkuk matanya sangat papa Kami sama rebah, kupeluk dia di tanah
Kauketuk sendiri ambang dadamu anakku Usapkan jemari sudah berdarah Simpan laras bedil yang memerah Kutahu kau kembali jua anakku
KETIKA SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2040, KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu Bersama beberapa ribu kawanmu Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju Bersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu Sampai kini sejak kau lahir dahulu Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini Negeriku sesak adegan tipu-menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan
Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri
Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan Indonesia padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan Indonesia padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,