ZIARAH DI BUKIT UHUD
Hasan Bisri BFC
Entah mengapa, saban tegun di tempat ini tulangtulang dan sesendian seperti berlepasan
Membayangkan 70 penjaga firman menjadi syuhada kepagian
Oleh panahpanah kebencian yang dilepaskan dari busurbusur kekafiran.
Dan Wahsyi, lelaki jalang yang menjelmakan Hindun serupa serigala tengah malam, menyuci lensa matanya dengan gagak hitam
Membayangkannya jadi ngeri dan pilu
Lelaki macam apakah dia, ketika gebu menukar dinar dengan jantung Hamzah—lelaki yang disayangi Nabi dan dipayungi rerimbun doa
Dan Hindun, yang dibanjiri darah jantung Hamzah di kedua gigi taringnya tak dibiarkan Nabi mati oleh api dendam saudara sendiri
Karena tuhan telah meniupkan nafas kerinduan pada hatinya yang begitu perempuan.
Jakarta, 2005/ 2007
Tampilkan postingan dengan label Hasan Bisri BFC. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hasan Bisri BFC. Tampilkan semua postingan
Selasa, 14 Februari 2012
Puisi Ziarah di Bukit Uhud | Hasan Basri BFC
Senin, 13 Februari 2012
Jazirah Api | Hasan Bisri BFC
JAZIRAH API
Hasan Bisri BFC
Di jazirah ini, orangorang mengibarkan bendera api tinggitinggi. Sembari berteriakteriak, diasapinya kelaminnya sendiri
Di sinilah orangorang mewarisi api kebencian Ibrahim yang dititipi nafas kesucian tuhan. Dikemas dalam selubung keimanan
Tapi matahari siang itu begitu menyilaukan
Diikutinya tilastilas setan yang berdebu dan usang
Maka lengkaplah sudah tipudaya, ketika diteriakkannya, “Bismillahi Allahu Akbar!” pada lemparan batubatu kebinasaan
Berjutajuta setan mengeramasinya dengan warnawarni pujian
Jakarta, 2005/ 2007
Puisi Pertemuan di Padang Cinta | Hasan Bisri BFC
PERTEMUAN DI PADANG CINTA
Hasan Bisri BFC
Selalu kuimpikan kita bakal berjumpa di Padang Cinta. Engkau jadi bahtera yang akan mengantarku pada tilastilas Nuh dan Kan’an. Menulis kembali kenangankenangan yang dikaburkan getas waktu dan kebodohan.
Tapi sesosok api tak bosanbosan mengepung bayangku. Meski telah susahpayah kusembunyikan kelaminku pada gemericik airwudlu. Seperti telah tahu seberapa rapuh seratserat iman dalam tubuhku. Kini, ketika kau tahu serupa rantingranting kering di musim kemarau, maka tak ada jalan henti baginya
Selalu kuimpikan kita bakal berjumpa di Padang Cinta. Engkau menjadi dian yang akan memanduku mengutas jalan keabadian.
Namun sesosok api tak bosanbosan di balik punggungku. Menyisir bulukuduk agar aku tak hentihenti bangga pada sosokku
Meski telah kuwarisi api kebencian Ibrahim dengan batubatu, lagilagi yang luka berdarah di wajahku
Jakarta, 2005 / 2007