Sarimin
Saut Poltak Tambunan
Sarimin tidak habis pikir
mengapa pecut masih saja mengoyak
tengkuknya meski kesetiaan
telah ia lakoni sepanjang peradaban, mengapa nasibnya
harus tergantung
pada iseng belaka orang di kota.Ia pun pergi ke pasar
rasa lapar telah lama digelar
menjadi luka menganga
dan kejujuran - kesetiaan
hanyalah keterpaksaan. Sarimin berteriak tawarkan
jantungnya.
Jajakan hatinya.
Tetapi pasar pecah berubah rusuh.
Sarimin terhimpit terinjak
oleh berbagai unjuk rasa.
Entah rasa apa,
sebab poster dan spanduk yang diarak
sudah kabur oleh darah ludah
serta serapah nista
dari lidah yang bercabang-beranting.
Aroma dendam dan dengki
dikelangitkan menjadi satu. Sarimin terseret
makin jauh masuk kota.
Ia menyaksikan orang-orang heboh
memburu tikus-tikus buron ke belantara hukum.
Tunas-tunas muda gagah berani
berteriak sungsang melintang
di perempatan hukum sambil
ramai-ramai kangkangi rambu. Semakin bingung, Sarimin
nyasar ke plaza. Di sini orang masih saja
ingin membeli kendati tak ada lagi
yang mau menjual. Cobalah bersabar, kata Sarimin
berdamai dengan diri sendiri,
masih ada sisa doa yang belum pecah
terinjak di pasar.
Tetapi siapa percaya doa bukan serapah?
Siapa percaya kebajikan
bukan akal bulus belaka? Sarimin nelangsa.
Sepotong mimpinya telah menjadi santapan
lezat para pakar di televisi.
Keadilan tinggal sebatas bahan
seminar orang-orang gardu muka
yang semalaman tidak tidur
merancang surat kaleng.
Cuaca pada kaca buram berembun
hanya menyuguhkan wajah
tak bermuka kendati masih berdasi. Sarimin
minggat ke kuburan.
Ingin muntah di atas kubur tuan lama
yang kini diziarahi bagai pahlawan sejati
meski semasa hidup
belakangan tak lagi punya nyali bertemu Sarimin.
Sebab nafas dan kentutnya merusak ozon.
Jazadnya pun meracuni tanah hingga cacing dan belatung pun
tak sudi menyentuhnya.Sarimin menangis. Ia pergi ke pergi.
Bandar Lampung, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar