UNTUK CLOSE : KLIK LINK IKLAN DI BAWAH 1 KALI AGAR MELIHAT FULL ARTIKEL ^^


Sabtu, 30 April 2011

Contoh Puisi Pendidikan | Indragung Priyambodo

PENDIDIKAN
Puisi Indragung Priyambodo **

Pendidikan itu asalnya dari kata didik
Didik artinya "memelihara dan memberi latihan
tentang akhlak dan kecerdasan pikiran"
Pendidikan berarti "proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan"
Jadi, "pendidikan adalah suatu proses, suatu perbuatan, suatu cara
mendidik"

Memperbaiki kesalahan merupakan pendidikan
Melakukan kesalahan, juga pendidikan
Membiarkan kesalahan, juga pendidikan
Membenarkan kesalahan, juga pendidikan
Menyalahkan kebenaran, ?.. nah ?. dang-kadang juga pendidikan

Menghukum yang salah adalah pendidikan
Menghukum yang benar, juga pendidikan
Memuji yang benar adalah pendidikan
Memuji yang salah, juga pendidikan
Memperbaiki sesuatu adalah pendidikan
Merusak sesuatu, ?.. nah ?. dang-kadang juga pendidikan

Ada lima hal yang sangat penting !
Pertama, pendidikan itu untuk siapa ? untuk apa ?
Kedua, pendidikan itu dari siapa ?
Ketiga, mengapa diberikan, diterima, dan mengapa diperlukan
pendidikan ?
Keempat, kapan pendidikan itu diberikan, diterima, dan kapan
dibutuhkan ?
Kelima, bagaimana memberikan dan menerimanya ?

Mana yang lebih baik, mendidik ataukah dididik
Mana yang lebih baik, pendidik ataukah terdidik
Jarang yang menyadari ......
Seseorang yang sedang mendidik, saat itu juga sedang dididik
Seseorang yang sedang dididik, saat itu juga sedang mendidik
Jadi .... seorang pendidik sebenarnya juga seorang yang dididik
Dan ... seorang yang dididik, tanpa sadar sebenarnya juga seorang
pendidik

Medio, 12 Desember 1999

** Indragung Priyambodo : seorang komisaris konsultan pendidikan tinggi


Sabtu, 23 April 2011

Puisi Keindahan Alam Indonesia | Puisi Cahya AW

Keindahan Alam Indonesia
Cahya AW

Saat aku membuka mataku,
ku tak percaya bahwa itu nyata
Aku masih berfikir, bahwa aku masih bermimpi
Tetapi aku sadar bahwa keindahan itu benar-benar ada di depanku
Sungguh indah kepulauan ini

Ribuan pulau-pulau berjajar membentuk gugusan pulau yang indah
Gunung-gunung berbaris dari ujung barat ke ujung timur
Samudra luas membentang dengan air yang biru
dan berisi keindahan di bawahnya

Aku bangga menjadi anak Indonesia
Aku berjanji aku akan menjagamu

Januari 2008

Puisi Sejarah Indonesia | Puisi Indonesiaku

INDONESIAKU
Mawardi

Malang nasibmu, Indonesiaku...
tiga setengah abad engkau di jajah
kucuran keringat dan darah,
harta sekalipun nyawa di korbankan para pejuang.

63 tahun silam engkau bebas dari penjajahan, kata mereka.
malang nasibmu, indonesiaku...
engkau berada di tangan para penjilat harta dan tahta
sang merahputihpun tetap berkibar di sana,
seakan menampar muka para penguasa korup
Burung garudapun tetap bertengger di sana.

Burung garuda berkata "hai penguasa...!
turunkan aku dari sini, kau merongrong indonesiaku"
merekapun diam membisu, di anggapnya patung tiada guna.
malang nasibmu, indonesiaku...
mereka berebut kekuasaan...

Puisi Suasana Alam Desa | Di Desaku

DI Desaku
Mawardi

Kabut hitam menyelimuti gunung
suasana pagi di desaku

Jalan bertanjak menikung tajam
Jalan berbatu dan berdebu

Riuh bocah kecil permainan kelereng
bola-bola karet malambung

Langkah tegar pak tani dan bu tani
memburu sekarung padi

Ayam jago rebutan betinanya
menthok yang mencari cacing di gangnya.

Tersimpan di memori yang terdalam..

Sadarku

Nyiur melambai-lambai indah di pematang sawah

nina-bobok Ibu pertiwi selagi angin sepoi-sepoi
tiba-tiba badai menerjang
sontak terbangun aku.

Siapa hidangkan keraguan....?
laut berbuih putih, terombang-anbing.

Gunung mengeluarkan abunya
sawah,ladang menjadi subur

para petani berkata
“Ibu pertiwi, terimakasih”

Sesampainya penghujung keraguan ini
aku akan selalu bersamamu ibu pertiwi
salam dari anak yang tak tahu diri
sesalkan impian-impian masalalu
lari terbirit di kejar waktu

Ibu pertiwiku.......

ku kan selalu menjagamu
aku rela berkorban demi Ibu pertiwiku
berharap hari esok tetap berada di pangkuanmu

Lalu-lalang kenangan mengitari diri
lambaian nyiur terus memanggilku untuk hadir di hadapanmu ibu pertiwiku

Panggung politik berjubelkan hipokrit-hipokrit tak berduit
menghanguskan idiologi bangsa
“Ibu pertiwi katanya sedang lara?”

Puisi Musim Hujan Tumbuh | Dody Kristianto

Musim Hujan Tumbuh
Puisi Dody Kristianto

musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintang-bintang luka
dan hilang
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
di helai rambutmu

2009

Selasa, 19 April 2011

Puisi Kota Tua | Puisi Tentang Kota Tua

Kota Tua
Puisi Ria Octaviansari

menikmati kening keriputnya, mencium bau sirihnya
mengingatkan aku pada kakek tua renta di ujung kota.
matanya serupa gerbang yang selalu memanggilku
untuk menelusuri tiap labirin di halaman penuh ilmu

pergilah ke ruang paling ujung di antara gedung tua
kau pasti akan menemukan arca dada sang raden
yang sangat gagah, segagah purnama di mata
saaat jam berdetak tepat pukul dua belas malam di taman eden.

masih ada sisa waktu?

pergilah ke kafe Batavia, suasana tua nan renta
serupa nenek berkerudung merah, nikmati cahaya
remang lampu gantung yang umurnya sama denganku
dua puluh tiga tahun, berbentuk tungku

berjalanlah ke utara, kau akan melewati lampu bawah tanah
yang menyerupai sinar mata kucing di malam hari.
berdiri dan pandanglah jendela bentuk kerucut
kau bisa membawa kenangan sebanyak-banyaknya dalam keranjang

tapi, jangan sampai jejakmu tertinggal di sana
karena ia akan memanggilmu kembali
untuk menggali waktu dan mengubur kenangan
yang pernah kau bawa

2008

Puisi Politik | Merayu Swara Rakyat

Merayu Swara Rakyat
Heri Latief

sebanyak janji kampanye diobral
siapa itu yang anti modal?
kapital asing punya kepentingan
jangan mau tertipu lagi!

tetesan keringat darah rakyat
sumbangan orang melarat
dibilang pahlawan devisa
siksaan hidup buruh migran

sebanyak luka sejarah
kita harus berani berubah
demi keadilan sosial
Indonesiaku, majulah menang!

Amsterdam, 07/07/2009

Kumpulan Pantun Anak Sekolah | Pantun Anak-Anak

Kumpulan Pantun Anak Sekolah

Pantai Beruas pasirnya putih
tempat orang berbagan belat
Anak SMP berpakaian biru putih
mari kita didik agar tidak jadi bejat

Jalan-jalan ke makassar
jangan lupa makan pisang 'epe
Jika mau jadi orang besar
ajari hal baik pada anak smp

Paling enak goreng tempe
dimakan pakai sambal
Didik baik-baik anak smp
agar tidak jadi nakal

Makan jengkol berbalut tepung
Makannya di atas komedi putar
Ada lelaki berbadan karung
Lewat depan mata bumi bergetar

Ke Bandung beli tahu bulat
Jangan lupa dengan peuyemnya
Siapa sering makan coklat
Hati-Hati Rusak giginya

Masuk Istana berliku-liku
Bertemu dengan sang raja
Aku Senang baca buku
Buku antarkan Kemana saja

Pantun Lucu Tentang Cinta | Pantun Lucu Remaja

Pantun Lucu Tentang Cinta

Mata genit beradu pandang
senyum adik menggoda abang
ayolah dik kita melayang
menuju negri jauh di sebrang

Ada harta tidak terjaga
Ada peti tidak terkunci
Bahana cinta anak remaja
Sekejap kasih sekejap benci

Anak ayam belajar berenang
Anak itik di paya bakau
Mulut menyebut hati terkenang
Rindukan adik jauh di rantau

Anak bangsawan menjahit tabir
Sulam di tepi siku keluang
Benci tuan cuma di bibir
Dalam hati membara sayang

Menaiki kereta merknya honda
Pergi selayang kerumah hanapi
Bila cinta mekar di dada
Siang terkenang malam termimpi

Mulanya duka kini menjadi lara
Teman tiada hanyalah sendu
Bila rindu mulai membara
Itulah tanda cinta berpadu

Juragan pisau makan buah
Buah kotor kena tinta,
Jangan risau jangan gundah
Karena derita bumbu cinta

Paling cakep burung gelatik
Di atas awan terbang melayang
Emang banyak wanita cantik
Cuman ade yang abang sayang

Pohon sagu jatoh di tebang
Pohon duku di bikin sarang
Jangan ragu jangan bimbang
Cinta ku hanya untuk mu seorang

Di pinggir kolam makan bubur
Jangan lupa pakai keripik
Dari semalem aye ga bisa tidur
Selalu teringat wajah mu yg cantik

Pantun Lucu | Kumpulan Pantun Lucu

Kumpulan Pantun Lucu

Disana gunung, disini gunung,
Ditengah-tengah bunga melati
Saya bingung kamu pun bingung
Kenapa ada bunga melati

Nasi uduk masih anget
Beli nye di pinggir jalan
Yang lagi duduk manis banget
Boleh ga kite kenalan

Anak ayam turun ke bumi
Induk ayam naik kelangit
Anak ayam nyari kelangit
Induk ayam nyungsep ke bumi

Jambu merah
di dinding
Jangan marah
just kidding

Kalau punya gigi ompong
cepat cepat ke dokter gigi
kalau jadi anak sombong
pasti nanti jadi rugi.

Mulanya duka kini menjadi lara
Teman tiada hanyalah sendu
Bila rindu mulai membara
Itulah tanda cinta berpadu

hati siapa tak bimbang
situ botak minta dikepang

Buah kedondong
Buah atep
Dulu bencong
sekarang tetepp

Senin, 18 April 2011

Puisi Cinta Pagi Hari | Harapan Cinta di Pagi Hari

Harapan Cinta Di Pagi Hari
Erwin Dealova

"Kasihku Penyejuk Hatiku"

Sejuknya tiupan angin pagi ini..
Menerpa lamunan ku yg terhampar jauh di alam khayalan ku..
Membuat pandangan hati ku semakin kokoh padamu..
Namun tidak bisa lagi ku rasakan khayalan itu..
Mengapa semua ini begitu menyakitkan untuk ku..?
Saat ini ku hanya ingin selalu berada dekak di sisimu..
Dalam doa ku nanti kau kembali..
Dari kenangan untuk sebuah harapan dgn
Sepenuh Cinta ku
Untuk bercerita dan berbagi canda tawa
Dalam ikatan bahagia untuk hati kita

04 April 2009

sumber : erwindealova.blogspot.com

Puisi Pagi Hari | Pagi Yang Cerah

Pagi yang cerah

Ku buka jendela kamarku
Ku katakan ’’selamat pagi
Udara pun menjawab begitu juga dengan mentari
Sapa ramah mereka mengindahkanku

Senyum manis bunga dihalaman
Riuh kicauan sang camar,
Menambah suasana hatiku semakin riang,
Semoga mampu kujalani hari ini,doaku dalam hati,

Pernah kau katakan padaku,
Alangkah bahagianya jika bisa terus bersama,
Tuk arungi bahtera kehidupan,
Saat itu juga haru penuhi diriku
Ku bertanya dalam diriku,
Rasa apakah ini,

Kini hidupku menjadi lebih indah
Karna kau selalu disisi,
Karna kau telah menjadi bagian dari diriku,
Karna kau adalah mimpi dan nyataku.

sumber : puisisastraku.blogspot.com


Puisi Untuk Apa | Agustinus Wahyono

UNTUK APA
Agustinus Wahyono

rembulan menggigil sembunyi
seorang perempuan menculik
menodong beberapa lakilaki
dengan senjata:
for love or money 2

the power of love, or
the power of money

keagungan cinta
puncak penciptaan: perempuan
ataukah pesona uang
: duajuta dolar amerika

harkat diri tak lagi dipeduli
meski sakitluka hati ditoreh bulan
menolak bukan menyakiti
di hadapan jejuta mata
demi cinta, ataupun demi harta

pengorbanan, ketulusan, kegigihan
tebalmuka, manismulut, hangatlaku
pada akhirnya keberuntungan itu utama
ataukah sesungguhnya jodoh seperti judi?

babarsariyogya, 22 februari 2005

Puisi Puisi Perjuangan | Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah Jaket Berlumur Darah
Taufiq Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN

1966

Puisi Tema Pahlawan | Pahlawan Tak Dikenal

PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh : Toto Sudarto Bahtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

(1955)
Siasat, Th IX, No. 442 1955

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Demam | Restu Ashari Putra

Demam
Restu Ashari Putra

sayang, beri aku ciuman di puisi terakhirku ini
sebab aku tak punya ongkos pulang
hartaku habis buat berobat di klinik terdekat
dokter cuma bilang, “kau teruslah menulis sajak!”
“resep obat ini berikanlah pada tetanggamu
yang melarat!”

senja telah turun, azan mengembang
nyeri di rusuk tulangtulang
aku semakin tak bisa pulang
kepalaku pening dengan sajaksajak
yang sengaja kau buang

sayang, beri aku ciuman di puisi terakhirku ini
aku tak akan pulang
aku ingin sakit bersamamu disini

2008

Puisi Dongeng Negeri Pujangga

Dongeng Negeri Pujangga
Restu Ashari Putra

tak ada yang lebih dari kata
dari dongeng negeri pujangga
setiap hari hanya mencatat nasib
dari takdir lari ke takdir
lebih dari sekedar karir
adalah kata yang selalu belajar
di kemudian hari sebutlah cinta

apakah itu para raja dan ksatria
penunggang kuda
tak lebih dari sekedar membangun
istana atau berpesta sambil meminum
arak dan memikul derita
para wanita tak menjadi abadi
dipeluknya setiap hari
hanya karena seketika,

Permaisuri, raja menderita!
Ksatria, tolong carikan malaikat
dari negeri seberang!

aku saja! pekik pujangga

ah, mengapa kita begitu tak berdaya?
padahal masih ada berjuta hamba
terkulai di halaman istana

kini kita berdua
Wahai paduka, serahkan jari-jarimu,
serahkan, serahkan padaku!
aku punya kisah untukmu
tentang dusta, tentang azab para dewa

tapi ingat, setelah paduka sehat
mari bersama kami
mengabdi
lebih atau tidak dari sekedar katakata

di tanah air cinta
di negeri lebih dari pujangga

2008

Tubuh Muda Menjelma Katakata | Puisi Restu Ashari Putra

Tubuh Muda Menjelma Katakata
Restu Ashari Putra

:dani Ibrahim

tubuh itu kerdil menahan beban yang patah
dari langit
duduk di hadapannya adalah tatapan siasia
tentang masa depan yang kalah
karena kenyataan begitu menyiksa
meski senyum selalu mengalahkannya pula

dengan sebatang rokok secangkir kopi
kawan, mari kita minum bersama!
harapan pun masuk kerongkongan
sembari rasakan pahit, perih melilit

kalaulah adikku budi tak sekolah
kalaulah aku tak harus kuliah
kalau bukan orang tua yang ada di jiwa
kalaulah dunia tak butuh biaya
kelak kutuntaskan tujuhpuluhdelapan halaman
katakata dalam komputer tua! pekik kau dalam
mimpi buta

tubuhmu semakin hilang
tawamu terdengar getir
hanya suarasuara yang pecah di sudut jiwa
lalu kau menjelma katakata
yang bakal dibaca di hari tua

2009


Minggu, 17 April 2011

Puisi Peringatan | Puisi Wiji Thukul

PERINGATAN
oleh :Wiji Thukul

Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : LAWAN !

(Solo,1986)

Puisi Derita TKI | Elegi Nirmala Bonet

ELEGI NIRMALA BONET
Mega Vristian

dengan tangan perempuan
kujinjing harapan
dari tanah kupang kampung halaman
menyeberang selat dan laut
tinggalkan tanah air
yang kemarau panjang
tempat rumputrumput mengejang

di negeri harapan
kelak mimpi kujadikan bulan
kujadikan matahari
bola cahaya
hari-hari esok
kuseka awan kehidupan

nirmala bonet
namaku nirmala bonet
perempuan
remaja sembilan belasan
kutinggal kampung halaman
kutinggalkan semuanya
kan kutukar mimpi dengan kenyataan
hidup harus diperjuangkan
rumput mengejang tak boleh meregang

di kualalumpur aku tiba
bergelut dengan keringat kerja
pada sebuah keluarga
tapi apalah nasib,
majikan yang kuharap baik hatinya
bikin aku tak lagi bisa bedakan
antara macan dan manusia
tubuhku ia cabik, luka menganga
mereka macan lapar
liar brutal
rintih dan jerit tangisku
tak ia dengar
terpuruk aku dalam genang darah
gelepar. tinggal gelepar

nirmala bonet
namaku nirmala bonet
perempuan
remaja sembilan belasan
kutinggal kampung halaman

mau menukar mimpi dengan kenyataan
tapi perih kini seluruh rasa
memar ini jiwa dan raga
bulan dan matahari
pergi entah ke mana
alam kembali temaram
gelap. perlahan kian pekat
kian pekat
mengubur harapan

(Hongkong,Mei'2004)

Puisi Bulan Sabit | Mega Vristian

BULAN SABIT
Mega Vristian

bulan sabit turun dari angkasa
ke atap-atap musim bunga
seperti kau, kekasih
yang selalu datang
menjemput dan menunggu
menyertaiku di detik-detik peristiwa
pahit dan manis tanpa meminta


ketulusan ini jugalah
tanah hitam subur
di mana kesetiaan bertunas
cinta mengembang
mengalahkan musim


bulan sabit turun dari angkasa
ke atap-atap musim bunga
di biru langit hidupku
kasihmu purnama malam
fajar penyulut siang
tak kuucapkan memang
sadar kepekaan cinta
bermata elang

(Hong Kong, April 2004)

Biografi Mega Vristian


BIOGRAFI MEGA VRISTIAN

Juara Pertama Lomba puisi yang diadakan komunitas Perantau Nusantara, berkerja sama dengan milis Apresiasi-Sastra(2005). Meraih EssoWenni Award untuk sebuah karya puisinya di bulan Juli 2005. Juara tiga dan masuk Top Ten dalam lomba apresiasi Puisi yang diadakan milis Apresiasi-Sastra (2006- 2007). Karya-karyanya dimuat dalam beberapa buku antara lain: Antologi Puisi-Cerpen-Esai Sastra Pembebasan (2004), Dian Sastro For President - On/Off Book (2005), Antologi Puisi Untuk Munir (Nubuat Labirin Luka) – Sayap Baru & Aceh Working Group (2005), Kumpulan Cerpen Nyanyian Imigran – Dragon Family Publisher (2006), buku kumpulan cerpen "Selasar Kenangan" - AKOER (2006), Antologi puisi " Ijinkan Aku Tuhan" penerbit Dragon family Publisher (2008) dan Kumpulan puisi “ Lima Kelopak Mata Bauhinia” (2008). Mendapat Puisi Award (2009) dari tabloid Apakabar – Hong Kong. Sekarang menjadi anggota komunitas sastra , Perantau Nusantara dan Kelompok Teater ANGIN di Hong Kong.


Puisi SMS Ultah Buat Negeriku

SMS Ultah Buat Negeriku
Puisi Mega Vristian

Mbah, uang devisa dariku dan saudara-saudaraku sudah lumayan banyakkan?
cukuplan untuk membeli obat gosok buat penyakit encok
makanya jangan genit-genit ah
usia 64 seharusnya sudah bisa mapan dan menyediakan rumah yang nyaman buat anak cucu, lihat aku dan saudaraku masih diperantauan karenamu
ohya jangan menambah hutang lagi ya, mbah
kelak, masak itu yang kau wariskan pada kami

Selamat ulang tahun, bagaimanapun aku sangat mencintaimu"

(Causway Bay, Juli 2009)

Menguak Palung Kenangan | Mega Vristian

Menguak Palung Kenangan
Mega Vristian

jerit tangis bocah tak mampu menahan tekad kepergian ibunya
Di pintu pagar tanaman beruntas berjanji akan menunggu kepulangan
pagar tanaman beruntas yang tak pernah meranggas kering, walau tiap pagi dipetik nenek buat lauk makan selalu tumbuh lagi begitu berulang sekian musim
hingga si bocah tumbuh ditimang penantian didewasakan arus waktu

Kilatan petir sesekali membelah gelap ruang
seorang bocah berdiri di tepian jendela kamar
menengadah ke langit mencari tatapan kasih ibu
yang mungkin tersangkut di rembulan diantara derasnya hujan

Perlahan sang anak bernyanyi
Ibu sosokmu timbunan puisi / yang kubaca dengan segenap hati dan jiwaku/ yang tak pernah kubayangkan jika akan menjadi terkenang/ Letih penantian tak harus berakhir kematian/ Aku pun ingin sepertimu yang selalu tersenyum/ selayak puisi akan selalu hidup/ mesti raga kelak tergeletak tak berdaya dikeranda

(Causway Bay, Juli 2009)

Seusai Badai Berpeluk Puisi | Mega Vristian

Seusai Badai Berpeluk Puisi
Mega Vristian

Nak, semalam angin berputar kencang,
pepohonan tumbang ribuan kelopak bunga berguguran
Kupu-kupu dan burung entah digiring angin kemana
papan-papan iklan kaum kapitalis runtuh
Jatuh tepat di kepala PJTKI yang sedang jadi turis.
Promosi jajaran photo perempuan Indonesia pencari kerja
depan kantor agen Hong Kong digoyang angin kekanan kekiri
terbaca jelas walau tak tertulis,
- murah, tak cocok bisa ganti dijamin aman karena ada pendekeng kuat
Angin Juga menerbangkan selendang bayimu.

Selendang merah batik bermotip naga
yang sengaja kau selipkan ke koper bertahun silam
ketika ibu bersiap perang,
melawan sakit, melawan luka, melawan ketidak berdayaan
selendang penuh ingus dan airmata itu,
prasasti katamu yang kita pahami berdua entah bagi ayahmu
Maap, ibu lupa mengangkatnya dari jemuran bambu di jendela apartemen
seusai badai reda kucari tapi hilang.

Angin bisa merampas dan menerbangkan apasaja
saat berkolaborasi dengan badai kuasa mengaduk bumi,
tapi tak bisa merenggut kenangan kebersamaan kita,
meski selendang penggendong bayimu tak akan lagi memeluk rindu akanmu dikesendirian dan dikedinginan malam-malamku

Pada genang sisa hujan yang tersisa di ceruk waktu
wajah ibu terpantul menua tapi semangat didada tak bisa diremukkan usia
Mata tak mampu lagi menembuskan benang ke lubang jarum
tapi masih bisa membaca jelas elegi sebuah penantian
kau tulis bertinta darah air mata di buku harian
yang kau simpan di lubuk hatimu
meski tak pernah kau bacakan padaku, tapi ibu bisa memahaminya

Nak,
Di tanah perantauan ternyata tak bisa egois memanjangkan hidup kita sendiri
Tapi ada yang harus dilakukan ketika melihat bulikmu, budemu
bulik dan budenya orang lain juga para perempuan pekerja rantau
ditindas orang lain, ibu tak bisa diam nak, sebagai manusia kita tolak dijadikan mesin.

(Hong Kong, Hung Hom ,19 Juli 2009)

Sabtu, 16 April 2011

Sajak Orang-Orang Yang Tergusur | Holy Adib

Sajak Orang-Orang Yang Tergusur
Holy Adib

hari ini kami harus pergi meninggalkan rumah
yang berpuluh-puluh tahun kami huni tempat kami mencipta,
membesarkan dan mendidik anak cucu kami
sebab kami tiada punya hak menempati tanah ini

kami hanya bisa menyaksikan
saat gajah-gajah besi itu merobohkan kenangan-kenangan
yang tersusun rapi di balik dinding rumah yang kami bangun dulu

tangis bocah-bocah mungil tangis kakek nenek yang menggigil
tangis ayah ibu kami yang mengerdil tak mampu menyentuh hati mereka
yang kami harapkan bisa menunda atau memberi waktu sebentar saja
untuk kami berkemas mengumpulkan sisa-sisa tenaga
meninggalkan rumah satu-satunya yang kami punya

kemana kami akan pergi membawa kaki yang kehilangan langkah ini
sedang rumah Tuhan pun tak mau menerima kami
yang selama ini kami yakini suci

sementara mereka hanya bisa berkata “kasihan sekali nasib mereka, ya”

ah, sudahlah tiada guna menyumpah-nyumpah
kami hanya sampah yang mengotori tatanan kota
karna itu kami harus pindah
demi terwujudnya pembangunan yang bersahaja

Padang, 20 Oktober 2010

Puisi Sosial | Puisi Bertema Sosial

Seorang Ibu Berbisik pada Calon Bayinya
Holy Adib

anakku jika nanti kau keluar dari rahimku, jangan menangis
simpan air matamu untuk esok hari
aku takut kau kehabisan air mata
untuk menangisi nasi yang tak ada dalam tudung
sebab kita tidak lagi mendapat beras miskin yang dibagi kepala desa
untuk sanak keluarganya yang berkarung beras dalam gudangnya

jika nanti kau keluar dari rahimku, tahan tangisanmu
air matamu lebih berguna untuk menangisi korban bencana alam
yang bantuannya tertahan di saku-saku para dermawan
dan di kantor-kantor urusan kemanusiaan

jika nanti kau keluar ke dunia diam saja setelah umurmu genap enam tahun
menangislah sekeras-kerasnya untuk pemimpin bangsa
yang gemar studi banding ke luar negeri
memakai uang bangsa atas nama tugas negara
sementara ribuan anak-anak terlempar ke jalan raya
karna tidak ada biaya untuk sekolah

saat kau lahir nanti jangan menangis anakku sayang
air matamu sangat berguna sekali untuk diminum para tenaga kerja di luar negeri
yang haus perlindungan dari negara yang mereka beri devisa

bila kau menangis saat lahir nanti maka air matamu
akan menyatu dengan air mataku
air mata kita akan menjadi samudera yang memeluk air mata para buruh
yang diberhentikan karna menanyakan gaji yang tidak pernah berkecukupan
membiayai anak istri dan berbagai keperluan
yang tidak sepadan dengan peluh yang berceceran di pabrik-pabrik

Padang, 1 November 2010

Jumat, 15 April 2011

Puisi Ayah | Puisi Tentang Ayah

Ayah
Holy Adib

aku ingin jadi yang pertama selalu memberi cahaya untukmu
sebelum matahari bangun lalu turun ke atas daun-daun

aku ingin lebih dahulu mengucapkan selamat pagi padamu
sebelum suara burung-burung bernyanyi tentang hari baru

tak kubiarkan udara pagi masuk ke paru-parumu
sebelum udara pengabdianku mengitari tempat tidurmu

biarlah aku wahai ayah yang kini jadi tanganmu untuk menjinjing dunia
waktumu berhenti menggali tanah dan menguak langit sudah tiba

kini giliranku berdiri di pintu rumah
menjaga keluarga sembari belajar menjadi dewa

Jakarta, 22 januari 2011

Sajak Perkenalan | Roy Goozly

Sajak Perkenalan
Roy Goozly

: Maema Daenk

berkaca pada sang kakak
mengembara ke negeri jawara demi sekantong masa depan
kemerdekaan putih abuabu melebur kini; terbanglah
taburi peta ini dalam kemasan senyum bugismu
tertancap di sini, meninabobokan para kampung dinasti
hinggapmu di Karangantu bersama kakak dalam satu sarang bibi
“Aku akan kembali terbang, walau kampungku masih bertabur api”
itukah janjimu, kala alam pikirmu basah oleh percakapan.
gerimis yang terus mengalir berlawanan
entah untuk apa, kita pun saling colek di ujung maya
hingga tak saling menahu

unsera, 2009

Puisi Tafsir Lebah | Siti Sa'adah

Tafsir lebah
Puisi Siti Sa’adah

Tafsirkan lebah dalam mimpiku tadi malam
mereka hinggap menuang madu
kuhisap tapi tak dapat. Tak dapat.
Malam yang rekat meleleh dipangkuanku
setelah serbuan bisa ke ruh ku membunuh
dengung sayap mereka.

November, 2010

Puisi Orang Tua | Puisi Untuk Orang Tua

Puisi tuk kedua Orang Tua

Kulihat dari Garis kelopak Matanya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu memperhatikanku di waktu kecil hingga kini

Kulihat dari Raut wajahnya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu menasehatiku di waktu kecil hingga Kini

Ku lihat dari mahkota di atas kepalanya yang mulai memutih
dan aku tahu bahwa dia selalu memikirkan keadaanku di waktu kecil hingga Kini

Ya Rabb
ku bersyukur pada Mu
engkau menciptakan Orang tua sebagai pembimbing jiwa ini

Ya Rabb

ku bersyukur pada Mu
engkau menciptakan Orang tua
sebagai tempat Utama berbagi hati ini di kala Gundah

ku ingin membahagiakannya hingga akhir menutup Mata
ku ingin membahagiakannya hingga Senyum terakhirnya
ku ingin membahagiakannya hingga Nasehat terakhirnya


Cikarang : Ahad 08-11-09
di keheningan Malam pada saat Bani insan banyak yang tenggelam dalam Mimpi

sumber : binamuslim.wordpress.com

Puisi Muhammad, ciumlah tanganku | Siti Sa’adah

Muhammad, ciumlah tanganku
Oleh: Siti Sa’adah

Tiga kali kukedipkan mata, untuk menghela lelah yang tak gentar mendampratku
tapi ku dianggap tak tahu, nasib menilap
mewaris payah di atas angka rupiah.

Gabah yang gatal dan kasar
meruas di telapakku yang bau matahari, Muhammad
Kepalaku merupa jemuran tahi burung di sawah
yang mengibas kelontengan dan boneka rakitan
sedang kakiku menjadi dam
menahan alir pengairan yang dibelokkan.

Kemarin, suamiku hilang dimakan hantu perawan.
Melupakan anak-anak yang belum pandai berucap
Gabah yang gatal dan kasar
melekat di ruas tanganku yang berdarah.
Sudikah kau Muhammad?

November, 2010

Puisi Episode Pagi | Rain Queen

Episode Pagi
Rain Queen

Kubuka lebar kedua bilik jantungku
Kuserahkan pada hujan : sirami lah..
Dari noda noda pengkhianatan
Dari darah keangkuhan
Angin fajar menyapa menggigilkannya
Biarkan ia membeku
Satu persatu lalat kecil terbang lepas dari bilik yang terbuka
Garis garis mentari mulai menusuk celah dan katup jantung
Menyegarkan aroma luka dari dalam ruang

Lonceng damai kembali kunikmati dari dahan ranting di taman
Embun merindu tanah betah bergumul di ujung dedaunan
Secangkir kehangatan dalam seteguk manis kopi
Dan bayangmu menyapa melengkapi pagi

Banda Aceh, Januari 2010

Puisi Tentang Dosa II | Rain Queen

DOSA II
Rain Queen

Sekumpulan awan hitam mengerjap matanya
Berulang kali berbelok arah tanpa jelas ; kadang berputar saja
Titik putih pun meradang, jatuhlah ia
Memental warna dedaunan kuning di hamparan alas
Sekali anginmu berhembus
Satu sepuluhnya pasti luruh, melayang, berputar sesaat, lalu tergeletak bisu.
Di bawah dedaunan hijau berkilau yang masih menggantung kaku
Merangkul pesona ini dengan kokoh pokokmu

Desir air yang jatuh
Tertawa-tawa ketika meliuk batu
Aroma riak hutan
Dan dingin yang menelusup di balik kulit

Satu nafas
Satu detak
Dalam gelombang hujan yang melebar
: dan dosa yang sama perlahan menarik kaki kaki itu ke pusaran air
Lenyap di permukaan
Dan hening kembali merayap

Air Terjun Kuta Malaka - Aceh Besar, Februari 2010



Puisi Perindu Pagi | Rain Queen

Perindu Pagi
Puisi Rain Queen

Dalam temaram api sebatang lilin bisu
Hembus nafas malam berbayang di jendela
Berderak ranting mengusik lelap penakluk sujud pagi
Sibakkan selimut embun

Telah lama kukais rindu dalam dosa
Kelam hati jarakkan Kau dan aku
Ini rindu beku
Kujatuhkan ke bumi hingga terburai
Dan butir butir itu melayang padaMu
Kubasahi tanahMu dengan bening kristal kudus
Ruhku mencium kakiMu

Ketika malam perlahan turun
Kulepas sesaat pelukanMu
Untuk kurindu kembali


Banda Aceh, Februari 2010


Puisi Malamku Begitu Panjang | Rain Queen

Malamku Begitu Panjang
Rain Queen

Maaf malam, aku tak bisa menyesapmu dalam lelap
Dan aku tak sempat menyeduh mimpi yang hari ini berwarna jingga
Tubuh telah lama meranjang
Entah, jejaring laba laba enggan menyulam mataku

Jangan salahkan kelambu langit yang pekat hitam
Sebab kerlap kerlip menitik manis demi mimpi musafir
Hanya aku yang lupa, bagaimana menghitung pungguk bernyanyi
Kirim aku rasa lelah, tuan malam
Kurindu selimut kabutmu
Membungkus diri

Banda Aceh, Mei 2010

Kamis, 14 April 2011

Puisi Bulan Cemara | Musthofa Aldo

Bulan Cemara
Puisi Musthofa Aldo

Ada gemerisik nilai di pucuk-pucuk cemara
Ketika semak-semak yang basah mendesahkan bulan
Dan kangkah kita yang tak kekal
Mencari bongkahan-bongkahan mimpi di balik bantal

Bulan
Cemara

Di sebuah telaga
Tempat seekor burung mencuci sayapnya yang luka
Kutemukan darah mimpi anak cucuku yang merah
Telah ditanam di ladang doa dan airmata.

Bulan
Cemara

Kelak di ladang inilah kunantikan
Anak cucuku membawa beras bergantang-gantang.

2009

Asmaradana Di Kembang Cempaka

Asmaradana Di Kembang Cempaka
Oleh: Musthofa Aldo

Madura! Di ubun gua payudan. Aku berdiri dengan dada
Terbakar kemarau, daun-daun berguguran sepanjang
Jalan pulang. Sebab tapa bebatuan telah jadi batu karang
Dan pada sejarah moyang yang mengental di dinding kenangan
Kutemukan asmaradana berderai di kembang-kembang cempaka

Madura! Tanahmu retak berkali-kali. Tapi ringkik kuda dan
Lenguh sapi tak pernah lelah mengaji mimpi, diatas pusara
angin termangu. Di altar-altar doa dupa mengepul tanpa bau.

Madura! Sungai-sungai menggeliat dalam tidurku
Mengairi ceruk bantal dan guling. Menghayutkan doa
Bebatuan ke pintu zaman dan digua payudan aku terus berdiri
Menunggu hujan dengan dada terbakar kemarau.

Januari 2009

Puisi Api Unggun di Atas Sajakmu | Musthofa Aldo

Api Unggun di Atas Sajakmu
Oleh: Musthofa Aldo

Di sepanjang via dolorosa
Para demonstran membuat api unggun diatas sajakmu
Dan langit pun kehilangan warna
Dan sajak-sajakmu kehilangan kata-kata.

Lalu, bercak-bercak darah bercipratan
Bersama hujan yang gundah sepanjang malam
Menyirami jejak-jejak huruf yang tinggal puing
Menghayutkan perih pada liang luka berkeping-keping

Malam itu kusaksikan
Seorang musafir memanggang puisi
Diatas api unggun itu.

2009

Puisi Aku Tulis Sajak Cinta Ini | Musthofa Aldo

Aku Tulis Sajak Cinta Ini
Oleh: Musthofa Aldo

Ingin selalu kupersembahkan untukmu
Sajak-sajak yang sederhana
Sekuntum cinta yang sederhana
Segumpal rindu yang sederhana
Sebab hidupku yang sunyi memintaku
Bercinta lebih dari sekedarnya

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
Qois pada Laila karena bulan baru sembuh dari gerhana

Aku ingin menyayangimu dengan sederhana
Dengan isyarat-isyarat cinta pada mata
yang tak sempat mengerling
lantaran senja semakin rahasia

kukatakan sekali lagi
bahwa aku mencintaimu
maka pukullah aku jika kau tak suka
hari-hari yang kulalui
hanya berbatas dinding dan malam
sepi memintal leher dan mencekik penantian bulan

aku mencintaimu
langit dan bumi inilah saksinya
maka lemparlah bila kau tak suka
karena aku pun tak sengaja mencintaimu

aku tulis sajak cintaku ini
karena tak bisa kubisikkan padamu
rindu mengarungi senin, selasa, rabu dan seluruh minggu

untukmu, akan kutanam pokok-pokok melati dihatiku
dan akan kuantarkan harumnya pada lubuk hatimu.

2009

Rabu, 13 April 2011

Biografi Toto Sudarto Bachtiar


Biografi Toto Sudarto Bachtiar

Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi (1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.

Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.

Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.

Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “

Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.

Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.

(Berbagai Sumber)


Puisi Gempa Bumi Padang | Puisi Karya SBY

Dalam Duka, Kami Bangkit
Karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tanah Minang pernah terguncang di senja gulita
oleh bencana yang tak terduga
Kuingat jerit dan tangis
membelah sudut-sudut kota dalam kelam dan duka

Di bumi ini, ribuan anak negeri
tiba-tiba pergi ke Hadirat Illahi
Di kota ini
Ratusan syuhada berpulang ke alam baka atas takdir Yang Maha Kuasa

Ya Allah, meski hati kami tergores lara mengenang mereka yang kucinta
Kami bersujud dalam tawakkal ikhlas menerima cobaan
Tetapi, Ya Robbana kami tak pernah menyerah dalam pasrah
dan bukankah dalam musibah selalu ada berkah
yang menuntun kami terus berkarya dan beribadah.

Kami semua telah bangkit dengan tekad dan cita-cita
untuk membangun kota ini memajukan negeri kami
dalam cahaya iman dan rahmatMu

29-9-2010
sumber : kompas.com


Puisi O Nestapa | Cesillia Fofied

O, NESTAPA
Cesillia Fofied

Hari ini perbedaan merentangkan sayapnya
seperti dalam kepak-kepak para nestapa
keniscayaan yang tak terbantahkan
patah terbungkus
ragu itu menyelimuti keramaian

Sepertinya,
aku menemukan kegelisahan
ketika setiap perwujudan
selalu berbentur moral dan etika
pada setiap etalase
pada jejak keserakahan
dalam lingkar kapitalisme cacat,
orang-orang terpekur

Sejarah adalah kesepakatan
pada pertentangan dan pertempuran
pada penindasan dan keterasingan
dalam kerinduan bertambah sangat,
di mana aku menyapamu?

Ya, keterasingan
kata itu merubah gairah
menjadi dendam dan amarah

Jadi,
kemana harus kulemparkan
sebagian semangat yang tiba-tiba patah
lari seperti keputusasaan
dan tersembunyi bagai ilalang terbakar,
para nestapa masih menungguku


AK.1062901

Puisi Aku Nusantara | Cesillia Fofied

AKU NUSANTARA
Cesillia Fofied

Aku penyaksi
Yang telah mendengar sumpah berjuta durjana
Memunguti janji di kerak-kerak neraka

Aku penyaksi
Dari mereka yang mengaku revolusioner sejati
Setiap ceramah paling sosialis
setiap bertindak atas nama rakyat
di atas negeri yang bernama Nusantara

( Maaf aku kurang suka nama Indonesia, yang membuat tetangga memanggil Indon!?!)

Karena bumi ini kuwarisi dari
Mulawarman
Syailendra
Arok
Kertanegara
Marah silu
Balaputradewa
Raden wijaya
Hayam wuruk dan Gajah Mada
I Gusti ketut Jelantik
Tan Malaka
syahrir
Soekarno ( maaf, tetapi saya lebih suka Nusantara )
Hatta
Pram

Bukan dari
Spanyol
Portugis
Belanda
Jepang
IMF
Silahkan pergi!
Aku mau berdiri di atas kakiku sendiri!


AK.8092403

Puisi Sampai Batas Senja | Ilham Wahyudi

SAMPAI BATAS SENJA
Ilham Wahyudi

Kekasihku ingin aku mengendongnya sampai batas senja
sehingga ia dapat melihat matahari berendam di perut bumi
burungburung pulang dengan perut kenyang
bulan cemas sebab awan sedang bersedih
mendengar rintih katak yang kesepian di pinggir kolam
dan mana tahu gerimis kali ini sudikiranya turun membasahi
pipi merahnya seperti purnama
kekasihku juga memintaku menyayikan lagulagu rindu
agar suasana hatinya yang kacau berangsur normal
sejak pertemuannya tempo hari dengan seekor ular
semuanya tibatiba jadi berubah
seolah ular itu adalah isyarat tentang usianya
tapi kekasihku, ia tidak percaya pada katakataku
bahwa semua itu tak ada hubungannya samasekali
pada usia yang telah tuhan tetapkan batas ujungnya
kekasihku semakin erat memelukku, sangat erat sehingga
aku sulit sekali bernafas dan berbicara kalau aku sepenuhnya
setia bersumpah takkan meninggalkannya, walau sedetik
tapi kekasihku makin kuat memelukku dengan kedua lengannya yang beku
lalu kurasakan pundakku hangat menampung gerimis yang pelanpelan turun
aku mencoba menoleh ke pundakku; apakah ia menyaksikan gerimis ini turun?
sebab sudah sejak lama ia ingin sekali menyaksikan gerimis turun di batas senja
tapi apa yang kusaksikan bukanlah wajah bahagianya
melainkan mata kekasihku terpejam lekat
di batas senja yang pekat
dan gerimis, benarbenar gerimis

Medan. Februari 2009

Puisi Cinta Kian Membentang

CINTA KIAN MEMBENTANG
Puisi Ilham Wahyudi

– untuk kawan kawan di pabrik kopi

mereka tak menemukanku lagi di sana:
kebahagian adalah senyuman
cinta yang menyembur dari mata
menyelinap di katakata kami;
kini dulu

aku ini batu kata karung goni
sahabat luka kata kopi

tawa canda kami memekik
pada mesinmesin penimbang berat
dan diamdiam telah kami curi kebahagian
dari celah celah butir keringat

(satu awan gelap memandang sinis
teh manis kami tumpah – kadang juga kopi
baju kami basah
akh, lupakan saja, kita gulung lagi tawa
hahahaha)

roda waktu mengejar nafas
senyum anak kami; ingin disuap
lonceng berdentang:
sayur dari dagingku; ikan dari darahku
makanlah, nak

rinduku makin gila:
pun tak kusangka
acap kali aku tergoda
menjual lambungku

kau pisau tumpul tapi tajam
ada logam tikamlah

sampailah pada ujung perjumpaan:
seluruhnya menjadi kenang
kunangkunang malam yang terang;
cintaku kian membentang – samudera

Medan. Februari 2009

Puisi Gadis Lembah Seberang | Ilham Wahyudi

GADIS LEMBAH SEBERANG
Ilham Wahyudi

kalau langit mengijinkan
bulan purnama ini aku akan menyuntingmu
gadisku
gadis terang dari lembah seberang
pikat sukma jiwaku melayang

katakan pada seluruh tetua di sana
tak usah menyembelih binatang ternak
aku telah memotong sembilanpuluhsembilan
kerbau putih
tigapuluhtiga jenis rempah-rempah dari tanahku
sembilan daun sirih macam rasa
serta tiga kilo emas putih
sebagai maharku

gadisku,
kelak masaklah apa yang kita tanam dari kebun-kebun pengharapan
suapi si bungsu dengan senyum yang kau pamerkan
saat pandanganku terbentur matamu
pegang juga pundakku sebab aku akan menggosok rasa letih
yang menempel di kaki jenjangmu dengan seluruh keringat
yang kutampung dari sekujur tubuhku
mengendongmu ke ranjang yang dipenuhi bunga-bunga mawar

gadisku,
gadis terang dari lembah seberang
bersiap-siaplah aku akan segera datang
mencurimu dari kedua orang tuamu
orang-orang yang memperdulikanmu
tanah yang selalu merindukanmu – sepertiku –
selalu

Medan. Maret 2009

Puisi Pemabuk | Ilham Wahyudi

PEMABUK
Ilham Wahyudi

Oia, akukan pemabuk
Hantu malam dari lubang jahannam
Anjing liar dari kebunkebun pembantaian
Tolong tuangkan lagi luka itu, kawan!
Gelasku sudah kosong, lagi pula lambungku masih lapang
Memendamnya.

Cengeng!
Jangan kau habiskan air mata itu, tolol!
Besokkan film horornya masih diputar
Apa?
Kau bilang film komedi yang membuat kau menagis?
Hahahaha…puji tuhan!
Lantas mengapa kau menagis?
Kau menangisi mereka – orangorang suci itu?
Hahahaha…ternyata kita sama rupanya, kawan
Hantu malam dari lubang jahannam.

Taik kucing!
Aku melihat taik mata di bulan
Kau mengajakku begadang?
Dendang lagu dendang rindu
Akh…pilu!

Medan. Maret 2009

Biografi Fandy Hutari


Biografi Fandy Hutari

Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus 1984, menulis puisi kalau sedang galau menghampirinya. Ini merupakan puisi-puisi kenangan-kenangan saat masih kuliah dulu. Adalah penulis esai, buku, novel, cerpen, dan puisi. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan online. Dua bukunya yang sudah diterbitkan adalah Sandiwara dan Perang; Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010). Penulis bisa dihubungi di Email: fandyhutari@yahoo.com. Facebook: Fandy Hutari (sandiwaradanperang@writeme.com).


Puisi Terminal | Puisi Bertema Terminal

Terminal
Fandy Hutari

Wajah-wajah tak jelas memandang
Kepalanya panas disinari matahari
Matanya merah, otak meleleh

Jari-jari kondektur mengetuk jiwa penumpang
Tangan kekar supir membawa puluhan kepala
Menuju kepahitan dunia
Debu bawa serta aku duduk di sampingnya

Terminal Cianjur, medio Oktober 2003

Puisi Tanya | Puisi Tentang Tanya

Tanya
Fandy Hutari

Berpuluh-puluh, beratus bahkan beribu tanda tanya
terbalik terus berkelebat di dalam otak-otak bebal manusia,
yang kebanyak sulit mendapatkan jawaban rasional

Tanya adalah sebuah kebingungan manusia
yang sebagai makhluk berakal tentu punya hasrat ingin tahu

Kenapa-kenapa-kenapa?
Bagaimana-apa-di mana-kapan-apa yang harus?

Kalimat umum yang sering dihujankan
guna mengajukan satu per-ta-nya-an.
Sekali lagi, mungkin sulit dijawab...

Jatinangor, 2003

Puisi Matahari Baru | Fandy Hutari

Matahari Baru
Puisi Fandy Hutari

Terbit dengan terbata-bata, sekilas...
Resah, gelisah menatap hari kelabu...

Matahari baru, sedih dan lesu...
Kemarin dia tenggelam dan bercerita tentang bencana...
Matahari lama, tidur sudah tak berdaya...
Dia redup menyimpan sengsara...

Bandung, September 2004

Tuhan Bermain Musik, Semalam...| Fandy Hutari

Tuhan Bermain Musik, Semalam...
Fandy Hutari

Alunan musik terdengar dari langit, semalam
Tak ramah nada yang dikeluarkan
Bising dan bergemuruh

Tuhan sedang bermain musik semalam
Ketika aku hampir terlelap dalam mimpi,
tiba-tiba ia memainkan semua alat musiknya
Dentuman saut-menyaut
Tak berirama Langit yang sudah tumpah,
ditambah suara hentakkan tak henti-hentinya

Tuhan bermain musik semalam
Dan itu gratis Hanya untuk kita

Jakarta, Januari 2010

Selasa, 12 April 2011

Puisi Malam Kota dan Ribu-Ribu Kata

MALAM KOTA DAN RIBU-RIBU KATA
Surtini Hadi

Secangkir coklat panas
Sendiri di meja bulat telur kayu trembesi
Di sudut kafenya orang-orang berwajah puisi
Sembunyi pada temaram yang tawar—ditinggal tuannya

Panggung berderik
Saat kursi geser kesana kemari
Tubuh tuan secangkir coklat panas
Tersiram oranye pucat lampu sorot
Bibirnya bergerak-gerak
Menyantuni malam kota dengan ribu-ribu kata

Puisi apa yang dia baca
Seperti puisi hujan yang kemarau
Seperti puisi laut pasang yang surut
Seperti puisi penghabisan

Bulungan, end of nov 09---

Biografi Surtini Hadi


Biografi Surtini Hadi
Surtini Hadi, Penyair perempuan lulusan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto ini, menulis puisi sejak Aliyah Pernah nyantri di Nurul Hidayah Purworejo dan di PPQ Al Amin Purwokerto. Puisi-puisinya terdokumentasi dalam buku KAKI LANGIT SASTRA PELAJAR, Horison, Jakarta (2002), KEMILAU MUSIM, Pekanbaru (2003), PESONA GEMILANG MUSIM, Pekanbaru (2004) dan PROGO 2, Temanggung (2008).

Beberapa puisi,cerpen dan artikelnya tentang perempuan pernah dimuat di :

Suara Merdeka, Horison, Muslimah, Annida, Sabili, Tabloid MQ, Cybersasta.net, eramuslim.com, Radar Banyumas, Surya online, rumahkiri.net, Annida Online, Semarak Bengkulu, Pro Justitia, Karima, Setara, Instalasi, Obsesi, Kosmik, Bina Desa, Fadilah.

Semasa kuliah aktif diberbagai kegiatan kemahasiswaan, dan sempat menjadi pemimpin redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia. Membidani lahirnya Forum Diskusi Santri (FOKUS) Al Amin dan Buletin Al Afkaar. Pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) Purwokerto, Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Purwokerto,dan Focal Point Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Banyumas.

Selepas kuliah beraktifitas sebagai reporter di Majalah Sastra Pesantren FADILAH Yogyakarta, Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Purwokerto (P-KBHP), sebagai ketua divisi kebijakan publik, Sekjend Gerakan Aliansi Rakyat untuk Penghapusan Utang (GARPU) Purwokerto, Pengelola Pesantren Lingkungan Hifzhul Bi’ah Merapi DIY, dan sebagai voluntair di LAPERA Indonesia DIY

Saat ini, selain terus belajar menulis berusaha mengembangkan Rumah Baca JALAN DAENDELS yang ia dirikan di Nampurejo Rt01/I No.18 Purwodadi Purworejo Jawa Tengah. Contact Person : email/fb; kembaragadis@yahoo.com


Puisi Garuda | Puisi Bertema Garuda

GARUDA
Saut Poltak Tambunan

Dalam temaram garudaku nelangsa
terjelapak jatuh di belakang gudang jemuran padi
lunglai lehernya terkulai
digelantung beban lambang-lambang besar
sementara gambar lainnya berebut posisi
di kepala
di mata
di dada
di paruh
di cakar

Dalam temaram gagahnya sirna
Perisai lama bergambar lima
telingsut lenyap entah di belahan dada mana

Tujuhbelas delapan empatlima
bulunya jadi umbul-umbul dan bendera
berkibar berkobar berwarna-warna

Dalam temaram garuda meradang tiba-tiba
mencakar mata sendiri
mematuk cakar sendiri
merobek dada sendiri

Dalam temaram garuda berteriak:
tak akan cucakrowo menggusur aku!

lalu diam
lalu diam
lalu &%$@%$#&% ...!?

November 2009

Masih, Meski Bukan yang Dulu

Masih, Meski Bukan yang Dulu
Saut Poltak Tambunan

Risaukan apa lagi, kekasihku.
Masih ada taman ini menjulurkan rindangnya untuk kita berteduh.
Masih ada rumpun semak untuk kita sembunyi bercumbu.
Masih ada kupu-kupu putih mungil melintas di atas kepala kita.
Masih, meski semua itu bukan yang dulu.

Risaukan apa lagi, kekasihku.
Masih ada langkah yang bisa kita ayun bersama, meski sedikit goyah terseret.
Masih ada helai rambut yang harus kusibak di keningmu
untuk dapat membisikkan suara dari hatiku, meski mulai memutih.
Pendengaran kita mungkin mulai berkurang,
tetapi kita selalu sudah mendengar sebelum kita mulai mengatakannya.

Risaukan apa lagi, kekasihku, aku selalu ada,
meski semakin meski..

spt, mei 2009

Biografi Saut Poltak Tambunan


Biografi Saut Poltak Tambunan

Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).
Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.

Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati. Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.

Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.



Puisi Bapak | Puisi Tentang Bapak

BAPAK
Surtini Hadi

anak perempuanku, tunggu apalagi
ajak lelakimu kemari
kunikahkan kalian esok pagi
tujuh puluh tahun kerentaanku sebagai mahar

cari apalagi
kata-kata dan puisi itu
tak akan membuatmu muda kembali

Purworejo, 22 Maret 2009

Puisi Pamit | Surtini Hadi

PAMIT
Surtini Hadi

segala ngungun
bapak menatapku
: membatin rupa-rupa skenario
aku tak menjawab apapun
mencium punggung tangannya
kemudian berlalu begitu saja
sendiri kearah barat

Purworejo, 21 Maret 2009

Panembahan Rendra | Puisi Asep Sambodja

Panembahan Rendra
Asep Sambodja

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
segala upeti segala korupsi
ditulis penyair dalam puisi

kini bukan saatnya bicara cinta
karena cinta adalah kabut
dan asap belerang
yang mencemari kejernihan berpikir
dan berpendapat

penyair selalu setia
pada keindahan kejujuran
keindahan kesederhanaan
kebersahajaan
dalam kata dan tutur kata

penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak

Citayam, 25 Oktober 2009

Menonton Televisi Pagi Ini

Menonton Televisi Pagi Ini
Asep Sambodja

Gayus Lumbuun dan OC Kaligis
tampil di televisi pagi ini
sama-sama pakar hukum
sama-sama tahu hukum
sama-sama melek hukum
sama-sama bicara soal cicak dan buaya
sama-sama tegang
sama-sama yakin benar
sama-sama emosi
sama-sama paling benar
sama-sama ingin pengaruhi opini publik
sama-sama bersuara keras
sama-sama tua
sama-sama membela kebenaran menurut siapa
sama-sama lantang
sama-sama mau pukul-pukulan
sama-sama mau bertinju
sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya
sama-sama berdarah panas
sama-sama ahli hukum
sama-sama mengerti hukum
sama-sama panas
sama-sama mengepalkan tinju
sama-sama bersilat lidah
sama-sama mau pukul
sampai-sampai Denny Indrayana
memisahkan mereka

penonton ketawa!

jangan kemana-mana
setelah yang satu ini
kita panggil ambulance

Citayam, 2 November 2009

Rabu, 06 April 2011

Puisi Tentang Hukum | Kepada Bambang Widjajanto

Kepada Bambang Widjajanto
Asep Sambodja

negeri ini sedang sakit
dan sekarat
semestinya lembaga penegak hukum
harus berada di tangan orang-orang sepertimu
bukan di tangan buaya-buaya
yang ngiler melihat Rp 7 M

“Hallo?”

siapa Anggodo?
siapa Ong Yuliana?
kenapa aparat penegak hukum negeri ini
begitu keder mendengarnya?

inilah mafia peradilan
yang telanjang
di sidang Mahkamah Konstitusi kita

bahwa lembaga penegak hukum
menjadi lembaga paling diancuk
di negeri ini

Citayam, 3 November 2009

Puisi Tentang Makam Penyair | Asep Sambodja

Makam Penyair
Asep Sambodja

Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama

Puisi adalah makam para penyair
namanya terpatri di batu nisan
abadi dalam kesunyian
jadi tempat terindah
para peziarah

Puisi adalah makam para penyair
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra
dan siapa saja duduk di dalamnya
duduk seperti patung Ganeca
dan kita mempelajarinya
sampai habis kata
sampai habis nyawa

Citayam, 25 Oktober 2009


Biografi Asep Sambodja


Biografi Asep Sambodja

Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Depok pada 1993, dengan skripsi berjudul Pariksit, Interlude, dan Asmaradana: Telaah Isi Sajak-sajak Goenawan Mohamad. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di tabloid Bintang Indonesia, majalah Sinar, majalah Ummat, tabloid Madani, media online Satunet.com, Otogenik.com, majalah Fokus Indonesia, dan majalah sastra Imajio. Sejak 2005, ia menjadi dosen di almamaternya, Program Studi Indonesia FIB UI.

Ia aktif menulis puisi. Sejumlah puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain Media Indonesia dan Koran Tempo, serta dalam antologi puisi, yakni Graffiti Gratitude (2001), Ini Sirkus Senyum (2002), Bisikan Kata, Teriakan Kota (2003), Dian Sastro for President!: End of Trilogy (2005), Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk (2005), Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005), Mekar di Bumi (2006), Jogja 5,9 Skala Richter (2006), dan Legasi: Antologi Puisi Nusantara (2006).

Ia juga menjadi editor kumpulan cerpen karya mahasiswa UI, yakni Batak is The Best! (2006; bersama Saeno M. Abdi), Tuhan buat Vasty (2007), dan Untukmu, Munir (2008). Ia juga menulis cerpen. Salah satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Batu Merayu Rembulan (2003) yang dieditori Heri Latief. Ia pun menjadi salah satu editor untuk buku Aceh Merdeka dalam Perdebatan (1999; bersama Tulus Widjanarko) dan kumpulan esai Cyber Graffiti (2001). Pada 2005—2008 menjadi penyunting pelaksana di Jurnal Susastra. Selain menjadi dosen di UI, ia juga menjadi editor di Penerbit Bukupop.

Esai-esainya dimuat di Republika dan Sinar Harapan. Beberapa esainya dibukukan dalam Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), Dari Kampus ke Kamus (2005), Kebenaran akan Terus Hidup (2007), dan Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra (2007). Ia telah menulis dua skenario, yakni Air (2000) untuk film pendidikan di BIPA FIBUI dan Rekonsiliasi (2003) untuk pementasan monolog (stand up comedy) Iwel Well di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 6 Maret 2004. Bersama M. Yoesoev, ia menjadi Pembina Teater UI (2005—2008). Ia pernah menyutradarai Teater UI untuk pementasan di Panggung Seni UKM, Malaysia, dengan lakon Khotbah karya Rendra.

Ia telah menerbitkan buku puisi Menjelma Rahwana (Komunitas Bambu, 1999), Kusampirkan Cintaku di Jemuran (Bukupop, 2006), Ballada Para Nabi (Bukupop, 2007), dan Berhala Obama dan Sepatu buat Bush (Ultimus, 2010). Buku teks yang telah diterbitkan adalah Cara Mudah Menulis Fiksi (Bukupop, 2007) dan Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (Bukupop, 2010).

Meninggal 9 Desember 2010.


Puisi Seandainya Saya Luna Maya

Seandainya Saya Luna Maya
Puisi Asep Sambodja

barangkali aku akan mati berdiri
kalau setiap hari
pertanyaan yang kudengar hanya ini:
kapan kawin?

ah, pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu saja
tak pernah berkembang
tak pernah bermutu
dari dulu hingga nanti
pertanyaannya melulu kawin, kawin, kawin…
kalau sudah kawin:
selingkuhkah?
kapan cerai?
ah!

tak ada berita

dan aku hanya jadi barang dagangan
bagi gosipers dan paparazi
yang haus urusan orang lain

Citayam, 18 Desember 2009

Puisi Kekaguman | Kepada Romo Mangun

Kepada Romo Mangun
Asep Sambodja

aku mengagumimu hingga kini
bukan karena kau sastrawan
bukan karena kau pastor
bukan karena kau katolik
bukan karena kau kaya
tapi karena kasih sayangmu
pada orang-orang miskin
pada orang-orang yang dianggap sampah
oleh negara atau kaum borju

kasih sayangmu pada orang-orang pinggir kali code
dan orang-orang tergusur di kedungombo
meyakinkanku bahwa kaulah pahlawan sejati
pahlawan bagi orang-orang miskin
pahlawan bagi orang-orang yang disampahkan
pahlawan bagi kaum tertindas

ingin aku berguru padamu

dan kubayangkan hidup yang indah
jika ulama dan rohaniwan jakarta
belajar padamu
lakukan hal yang sama
pada orang-orang pinggir kali ciliwung
dan orang-orang yang tergusur
oleh mal dan jalan tol

bantuanmu pada orang-orang miskin
begitu konkret
dan tak kau pamerkan di depan publik
hingga mereka berduyun-duyun datang
menjemput maut

tidak, kau tidak begitu
kau hanya memberi
kau hanya memberi

Citayam, 22 Desember 2009


Puisi Pengakuan Dosa | Asep Sambodja

Pengakuan Dosa
Asep Sambodja

+ Bapa, saya mau mengaku dosa
- Wajahmu sudah mengisyaratkan setumpuk dosa, ada apa?

+ Bapa, saya sudah mencium seorang perempuan
- Keterlaluan! Apakah ia istrimu?

+ Bukan Bapa, makanya saya mau bertobat.
- Apakah ia adikmu?

+ Bukan Bapa
- Pacarmu barangkali?

+Bukan juga Bapa, saya sudah mencium perempuan lain
- Maksudmu?

+ Mohon ampun Bapa, ia anak tetangga
- Begitu? Hmmm, apakah ia merespons ciumanmu?

+ Untuk apa Bapa tanyakan itu
- Jawab saja! Jangan banyak tanya.

+Tidak tahu Bapa
- Ia tidak marah?

+ Tidak Bapa
- Apakah ia bergairah?

+ Maksud Bapa?
- Jawab saja! Jangan menjawab dengan pertanyaan

+ Sungguh saya tidak tahu Bapa. Ia masih bayi, umurnya lima bulan.
- Diamput! Itu bukan dosa, tapi kasih sayang!

+ Betul Bapa? Tidak dosa Bapa?
- Diamput! Kamu sudah menghabiskan waktuku 5 menit untuk sesuatu yang lucu!

+ Terima kasih Bapa
- [dalam hati] Iseng banget ini orang!

Citayam, 22 November 2009

Puisi Tentang Candi | Candi Mendut

Candi Mendut
Sanusi Pane

Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.

Puisi Karya Sanusi Pane

Puisi Kesadaran | Puisi Bertema Kesadaran

Kesadaran
Sanusi Pane

Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku melayang kelangit bintang,
Dengan mata yang bercaya-caya,
Punah sudah apa melintang,
Apa yang dulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; aku mendahului,
Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dengan melalui,
Hati sendiri

Puisi Karya Sanusi Pane