PENDIDIKAN
Puisi Indragung Priyambodo **
Pendidikan itu asalnya dari kata didik
Didik artinya "memelihara dan memberi latihan
tentang akhlak dan kecerdasan pikiran"
Pendidikan berarti "proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan"
Jadi, "pendidikan adalah suatu proses, suatu perbuatan, suatu cara
mendidik"
Memperbaiki kesalahan merupakan pendidikan
Melakukan kesalahan, juga pendidikan
Membiarkan kesalahan, juga pendidikan
Membenarkan kesalahan, juga pendidikan
Menyalahkan kebenaran, ?.. nah ?. dang-kadang juga pendidikan
Menghukum yang salah adalah pendidikan
Menghukum yang benar, juga pendidikan
Memuji yang benar adalah pendidikan
Memuji yang salah, juga pendidikan
Memperbaiki sesuatu adalah pendidikan
Merusak sesuatu, ?.. nah ?. dang-kadang juga pendidikan
Ada lima hal yang sangat penting !
Pertama, pendidikan itu untuk siapa ? untuk apa ?
Kedua, pendidikan itu dari siapa ?
Ketiga, mengapa diberikan, diterima, dan mengapa diperlukan
pendidikan ?
Keempat, kapan pendidikan itu diberikan, diterima, dan kapan
dibutuhkan ?
Kelima, bagaimana memberikan dan menerimanya ?
Mana yang lebih baik, mendidik ataukah dididik
Mana yang lebih baik, pendidik ataukah terdidik
Jarang yang menyadari ......
Seseorang yang sedang mendidik, saat itu juga sedang dididik
Seseorang yang sedang dididik, saat itu juga sedang mendidik
Jadi .... seorang pendidik sebenarnya juga seorang yang dididik
Dan ... seorang yang dididik, tanpa sadar sebenarnya juga seorang
pendidik
Medio, 12 Desember 1999
** Indragung Priyambodo : seorang komisaris konsultan pendidikan tinggi
Sabtu, 30 April 2011
Contoh Puisi Pendidikan | Indragung Priyambodo
Sabtu, 23 April 2011
Puisi Keindahan Alam Indonesia | Puisi Cahya AW
Keindahan Alam Indonesia
Cahya AW
Saat aku membuka mataku,
ku tak percaya bahwa itu nyata
Aku masih berfikir, bahwa aku masih bermimpi
Tetapi aku sadar bahwa keindahan itu benar-benar ada di depanku
Sungguh indah kepulauan ini
Ribuan pulau-pulau berjajar membentuk gugusan pulau yang indah
Gunung-gunung berbaris dari ujung barat ke ujung timur
Samudra luas membentang dengan air yang biru
dan berisi keindahan di bawahnya
Aku bangga menjadi anak Indonesia
Aku berjanji aku akan menjagamu
Januari 2008
Puisi Sejarah Indonesia | Puisi Indonesiaku
INDONESIAKU
Mawardi
Malang nasibmu, Indonesiaku...
tiga setengah abad engkau di jajah
kucuran keringat dan darah,
harta sekalipun nyawa di korbankan para pejuang.
63 tahun silam engkau bebas dari penjajahan, kata mereka.
malang nasibmu, indonesiaku...
engkau berada di tangan para penjilat harta dan tahta
sang merahputihpun tetap berkibar di sana,
seakan menampar muka para penguasa korup
Burung garudapun tetap bertengger di sana.
Burung garuda berkata "hai penguasa...!
turunkan aku dari sini, kau merongrong indonesiaku"
merekapun diam membisu, di anggapnya patung tiada guna.
malang nasibmu, indonesiaku...
mereka berebut kekuasaan...
Puisi Suasana Alam Desa | Di Desaku
DI Desaku
Mawardi
Kabut hitam menyelimuti gunung
suasana pagi di desaku
Jalan bertanjak menikung tajam
Jalan berbatu dan berdebu
Riuh bocah kecil permainan kelereng
bola-bola karet malambung
Langkah tegar pak tani dan bu tani
memburu sekarung padi
Ayam jago rebutan betinanya
menthok yang mencari cacing di gangnya.
Tersimpan di memori yang terdalam..
Sadarku
Nyiur melambai-lambai indah di pematang sawah
nina-bobok Ibu pertiwi selagi angin sepoi-sepoi
tiba-tiba badai menerjang
sontak terbangun aku.
Siapa hidangkan keraguan....?
laut berbuih putih, terombang-anbing.
Gunung mengeluarkan abunya
sawah,ladang menjadi subur
para petani berkata
“Ibu pertiwi, terimakasih”
Sesampainya penghujung keraguan ini
aku akan selalu bersamamu ibu pertiwi
salam dari anak yang tak tahu diri
sesalkan impian-impian masalalu
lari terbirit di kejar waktu
Ibu pertiwiku.......
ku kan selalu menjagamu
aku rela berkorban demi Ibu pertiwiku
berharap hari esok tetap berada di pangkuanmu
Lalu-lalang kenangan mengitari diri
lambaian nyiur terus memanggilku untuk hadir di hadapanmu ibu pertiwiku
Panggung politik berjubelkan hipokrit-hipokrit tak berduit
menghanguskan idiologi bangsa
“Ibu pertiwi katanya sedang lara?”
Puisi Musim Hujan Tumbuh | Dody Kristianto
Musim Hujan Tumbuh
Puisi Dody Kristianto
musim hujan tumbuh
di atas kepalamu
bintang-bintang luka
dan hilang
kehendak daun lanjut usia
gugur
jatuh pada kerekahan
tanah resah
segera, mimpi akan berakhir
bagai bulan sabit mengawang
sepanjang gigil musim
sungaisungai akan terbelah
melayari duka yang tumbuh
dari setiap ayunan gerimis
di helai rambutmu
2009
Selasa, 19 April 2011
Puisi Kota Tua | Puisi Tentang Kota Tua
Kota Tua
Puisi Ria Octaviansari
menikmati kening keriputnya, mencium bau sirihnya
mengingatkan aku pada kakek tua renta di ujung kota.
matanya serupa gerbang yang selalu memanggilku
untuk menelusuri tiap labirin di halaman penuh ilmu
pergilah ke ruang paling ujung di antara gedung tua
kau pasti akan menemukan arca dada sang raden
yang sangat gagah, segagah purnama di mata
saaat jam berdetak tepat pukul dua belas malam di taman eden.
masih ada sisa waktu?
pergilah ke kafe Batavia, suasana tua nan renta
serupa nenek berkerudung merah, nikmati cahaya
remang lampu gantung yang umurnya sama denganku
dua puluh tiga tahun, berbentuk tungku
berjalanlah ke utara, kau akan melewati lampu bawah tanah
yang menyerupai sinar mata kucing di malam hari.
berdiri dan pandanglah jendela bentuk kerucut
kau bisa membawa kenangan sebanyak-banyaknya dalam keranjang
tapi, jangan sampai jejakmu tertinggal di sana
karena ia akan memanggilmu kembali
untuk menggali waktu dan mengubur kenangan
yang pernah kau bawa
2008
Puisi Politik | Merayu Swara Rakyat
Merayu Swara Rakyat
Heri Latief
sebanyak janji kampanye diobral
siapa itu yang anti modal?
kapital asing punya kepentingan
jangan mau tertipu lagi!
tetesan keringat darah rakyat
sumbangan orang melarat
dibilang pahlawan devisa
siksaan hidup buruh migran
sebanyak luka sejarah
kita harus berani berubah
demi keadilan sosial
Indonesiaku, majulah menang!
Amsterdam, 07/07/2009
Kumpulan Pantun Anak Sekolah | Pantun Anak-Anak
Kumpulan Pantun Anak Sekolah
Pantai Beruas pasirnya putih
tempat orang berbagan belat
Anak SMP berpakaian biru putih
mari kita didik agar tidak jadi bejat
Jalan-jalan ke makassar
jangan lupa makan pisang 'epe
Jika mau jadi orang besar
ajari hal baik pada anak smp
Paling enak goreng tempe
dimakan pakai sambal
Didik baik-baik anak smp
agar tidak jadi nakal
Makan jengkol berbalut tepung
Makannya di atas komedi putar
Ada lelaki berbadan karung
Lewat depan mata bumi bergetar
Ke Bandung beli tahu bulat
Jangan lupa dengan peuyemnya
Siapa sering makan coklat
Hati-Hati Rusak giginya
Masuk Istana berliku-liku
Bertemu dengan sang raja
Aku Senang baca buku
Buku antarkan Kemana saja
Pantun Lucu Tentang Cinta | Pantun Lucu Remaja
Pantun Lucu Tentang Cinta
Mata genit beradu pandang
senyum adik menggoda abang
ayolah dik kita melayang
menuju negri jauh di sebrang
Ada harta tidak terjaga
Ada peti tidak terkunci
Bahana cinta anak remaja
Sekejap kasih sekejap benci
Anak ayam belajar berenang
Anak itik di paya bakau
Mulut menyebut hati terkenang
Rindukan adik jauh di rantau
Anak bangsawan menjahit tabir
Sulam di tepi siku keluang
Benci tuan cuma di bibir
Dalam hati membara sayang
Menaiki kereta merknya honda
Pergi selayang kerumah hanapi
Bila cinta mekar di dada
Siang terkenang malam termimpi
Mulanya duka kini menjadi lara
Teman tiada hanyalah sendu
Bila rindu mulai membara
Itulah tanda cinta berpadu
Juragan pisau makan buah
Buah kotor kena tinta,
Jangan risau jangan gundah
Karena derita bumbu cinta
Paling cakep burung gelatik
Di atas awan terbang melayang
Emang banyak wanita cantik
Cuman ade yang abang sayang
Pohon sagu jatoh di tebang
Pohon duku di bikin sarang
Jangan ragu jangan bimbang
Cinta ku hanya untuk mu seorang
Di pinggir kolam makan bubur
Jangan lupa pakai keripik
Dari semalem aye ga bisa tidur
Selalu teringat wajah mu yg cantik
Pantun Lucu | Kumpulan Pantun Lucu
Kumpulan Pantun Lucu
Disana gunung, disini gunung,
Ditengah-tengah bunga melati
Saya bingung kamu pun bingung
Kenapa ada bunga melati
Nasi uduk masih anget
Beli nye di pinggir jalan
Yang lagi duduk manis banget
Boleh ga kite kenalan
Anak ayam turun ke bumi
Induk ayam naik kelangit
Anak ayam nyari kelangit
Induk ayam nyungsep ke bumi
Jambu merah
di dinding
Jangan marah
just kidding
Kalau punya gigi ompong
cepat cepat ke dokter gigi
kalau jadi anak sombong
pasti nanti jadi rugi.
Mulanya duka kini menjadi lara
Teman tiada hanyalah sendu
Bila rindu mulai membara
Itulah tanda cinta berpadu
hati siapa tak bimbang
situ botak minta dikepang
Buah kedondong
Buah atep
Dulu bencong
sekarang tetepp
Senin, 18 April 2011
Puisi Cinta Pagi Hari | Harapan Cinta di Pagi Hari
Harapan Cinta Di Pagi Hari
Erwin Dealova
"Kasihku Penyejuk Hatiku"
Sejuknya tiupan angin pagi ini..
Menerpa lamunan ku yg terhampar jauh di alam khayalan ku..
Membuat pandangan hati ku semakin kokoh padamu..
Namun tidak bisa lagi ku rasakan khayalan itu..
Mengapa semua ini begitu menyakitkan untuk ku..?
Saat ini ku hanya ingin selalu berada dekak di sisimu..
Dalam doa ku nanti kau kembali..
Dari kenangan untuk sebuah harapan dgn
Sepenuh Cinta ku
Untuk bercerita dan berbagi canda tawa
Dalam ikatan bahagia untuk hati kita
04 April 2009
sumber : erwindealova.blogspot.com
Puisi Pagi Hari | Pagi Yang Cerah
Pagi yang cerah
Ku buka jendela kamarku
Ku katakan ’’selamat pagi”
Udara pun menjawab begitu juga dengan mentari
Sapa ramah mereka mengindahkanku
Senyum manis bunga dihalaman
Riuh kicauan sang camar,
Menambah suasana hatiku semakin riang,
Semoga mampu kujalani hari ini,doaku dalam hati,
Pernah kau katakan padaku,
Alangkah bahagianya jika bisa terus bersama,
Tuk arungi bahtera kehidupan,
Saat itu juga haru penuhi diriku
Ku bertanya dalam diriku,
Rasa apakah ini,
Kini hidupku menjadi lebih indah
Karna kau selalu disisi,
Karna kau telah menjadi bagian dari diriku,
Karna kau adalah mimpi dan nyataku.
sumber : puisisastraku.blogspot.com
Puisi Untuk Apa | Agustinus Wahyono
UNTUK APA
Agustinus Wahyono
rembulan menggigil sembunyi
seorang perempuan menculik
menodong beberapa lakilaki
dengan senjata:
for love or money 2
the power of love, or
the power of money
keagungan cinta
puncak penciptaan: perempuan
ataukah pesona uang
: duajuta dolar amerika
harkat diri tak lagi dipeduli
meski sakitluka hati ditoreh bulan
menolak bukan menyakiti
di hadapan jejuta mata
demi cinta, ataupun demi harta
pengorbanan, ketulusan, kegigihan
tebalmuka, manismulut, hangatlaku
pada akhirnya keberuntungan itu utama
ataukah sesungguhnya jodoh seperti judi?
babarsariyogya, 22 februari 2005
Puisi Puisi Perjuangan | Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Taufiq Ismail
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN
1966
Puisi Tema Pahlawan | Pahlawan Tak Dikenal
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh : Toto Sudarto Bahtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(1955)
Siasat, Th IX, No. 442 1955
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Demam | Restu Ashari Putra
Demam
Restu Ashari Putra
sayang, beri aku ciuman di puisi terakhirku ini
sebab aku tak punya ongkos pulang
hartaku habis buat berobat di klinik terdekat
dokter cuma bilang, “kau teruslah menulis sajak!”
“resep obat ini berikanlah pada tetanggamu
yang melarat!”
senja telah turun, azan mengembang
nyeri di rusuk tulangtulang
aku semakin tak bisa pulang
kepalaku pening dengan sajaksajak
yang sengaja kau buang
sayang, beri aku ciuman di puisi terakhirku ini
aku tak akan pulang
aku ingin sakit bersamamu disini
2008
Puisi Dongeng Negeri Pujangga
Dongeng Negeri Pujangga
Restu Ashari Putra
tak ada yang lebih dari kata
dari dongeng negeri pujangga
setiap hari hanya mencatat nasib
dari takdir lari ke takdir
lebih dari sekedar karir
adalah kata yang selalu belajar
di kemudian hari sebutlah cinta
apakah itu para raja dan ksatria
penunggang kuda
tak lebih dari sekedar membangun
istana atau berpesta sambil meminum
arak dan memikul derita
para wanita tak menjadi abadi
dipeluknya setiap hari
hanya karena seketika,
Permaisuri, raja menderita!
Ksatria, tolong carikan malaikat
dari negeri seberang!
aku saja! pekik pujangga
ah, mengapa kita begitu tak berdaya?
padahal masih ada berjuta hamba
terkulai di halaman istana
kini kita berdua
Wahai paduka, serahkan jari-jarimu,
serahkan, serahkan padaku!
aku punya kisah untukmu
tentang dusta, tentang azab para dewa
tapi ingat, setelah paduka sehat
mari bersama kami
mengabdi
lebih atau tidak dari sekedar katakata
di tanah air cinta
di negeri lebih dari pujangga
2008
Tubuh Muda Menjelma Katakata | Puisi Restu Ashari Putra
Tubuh Muda Menjelma Katakata
Restu Ashari Putra
:dani Ibrahim
tubuh itu kerdil menahan beban yang patah
dari langit
duduk di hadapannya adalah tatapan siasia
tentang masa depan yang kalah
karena kenyataan begitu menyiksa
meski senyum selalu mengalahkannya pula
dengan sebatang rokok secangkir kopi
kawan, mari kita minum bersama!
harapan pun masuk kerongkongan
sembari rasakan pahit, perih melilit
kalaulah adikku budi tak sekolah
kalaulah aku tak harus kuliah
kalau bukan orang tua yang ada di jiwa
kalaulah dunia tak butuh biaya
kelak kutuntaskan tujuhpuluhdelapan halaman
katakata dalam komputer tua! pekik kau dalam
mimpi buta
tubuhmu semakin hilang
tawamu terdengar getir
hanya suarasuara yang pecah di sudut jiwa
lalu kau menjelma katakata
yang bakal dibaca di hari tua
2009
Minggu, 17 April 2011
Puisi Peringatan | Puisi Wiji Thukul
PERINGATAN
oleh :Wiji Thukul
Jika rakyat pergi
Kita penguasa berpidato
Kita harus hati hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan menggangu keamanan
Maka hanya satu kata : LAWAN !
(Solo,1986)
Puisi Derita TKI | Elegi Nirmala Bonet
ELEGI NIRMALA BONET
Mega Vristian
dengan tangan perempuan
kujinjing harapan
dari tanah kupang kampung halaman
menyeberang selat dan laut
tinggalkan tanah air
yang kemarau panjang
tempat rumputrumput mengejang
di negeri harapan
kelak mimpi kujadikan bulan
kujadikan matahari
bola cahaya
hari-hari esok
kuseka awan kehidupan
nirmala bonet
namaku nirmala bonet
perempuan
remaja sembilan belasan
kutinggal kampung halaman
kutinggalkan semuanya
kan kutukar mimpi dengan kenyataan
hidup harus diperjuangkan
rumput mengejang tak boleh meregang
di kualalumpur aku tiba
bergelut dengan keringat kerja
pada sebuah keluarga
tapi apalah nasib,
majikan yang kuharap baik hatinya
bikin aku tak lagi bisa bedakan
antara macan dan manusia
tubuhku ia cabik, luka menganga
mereka macan lapar
liar brutal
rintih dan jerit tangisku
tak ia dengar
terpuruk aku dalam genang darah
gelepar. tinggal gelepar
nirmala bonet
namaku nirmala bonet
perempuan
remaja sembilan belasan
kutinggal kampung halaman
mau menukar mimpi dengan kenyataan
tapi perih kini seluruh rasa
memar ini jiwa dan raga
bulan dan matahari
pergi entah ke mana
alam kembali temaram
gelap. perlahan kian pekat
kian pekat
mengubur harapan
(Hongkong,Mei'2004)
Puisi Bulan Sabit | Mega Vristian
BULAN SABIT
Mega Vristian
bulan sabit turun dari angkasa
ke atap-atap musim bunga
seperti kau, kekasih
yang selalu datang
menjemput dan menunggu
menyertaiku di detik-detik peristiwa
pahit dan manis tanpa meminta
ketulusan ini jugalah
tanah hitam subur
di mana kesetiaan bertunas
cinta mengembang
mengalahkan musim
bulan sabit turun dari angkasa
ke atap-atap musim bunga
di biru langit hidupku
kasihmu purnama malam
fajar penyulut siang
tak kuucapkan memang
sadar kepekaan cinta
bermata elang
(Hong Kong, April 2004)
Biografi Mega Vristian
BIOGRAFI MEGA VRISTIAN
Juara Pertama Lomba puisi yang diadakan komunitas Perantau Nusantara, berkerja sama dengan milis Apresiasi-Sastra(2005). Meraih EssoWenni Award untuk sebuah karya puisinya di bulan Juli 2005. Juara tiga dan masuk Top Ten dalam lomba apresiasi Puisi yang diadakan milis Apresiasi-Sastra (2006- 2007). Karya-karyanya dimuat dalam beberapa buku antara lain: Antologi Puisi-Cerpen-Esai Sastra Pembebasan (2004), Dian Sastro For President - On/Off Book (2005), Antologi Puisi Untuk Munir (Nubuat Labirin Luka) – Sayap Baru & Aceh Working Group (2005), Kumpulan Cerpen Nyanyian Imigran – Dragon Family Publisher (2006), buku kumpulan cerpen "Selasar Kenangan" - AKOER (2006), Antologi puisi " Ijinkan Aku Tuhan" penerbit Dragon family Publisher (2008) dan Kumpulan puisi “ Lima Kelopak Mata Bauhinia” (2008). Mendapat Puisi Award (2009) dari tabloid Apakabar – Hong Kong. Sekarang menjadi anggota komunitas sastra , Perantau Nusantara dan Kelompok Teater ANGIN di Hong Kong.
Puisi SMS Ultah Buat Negeriku
SMS Ultah Buat Negeriku
Puisi Mega Vristian
Mbah, uang devisa dariku dan saudara-saudaraku sudah lumayan banyakkan?
cukuplan untuk membeli obat gosok buat penyakit encok
makanya jangan genit-genit ah
usia 64 seharusnya sudah bisa mapan dan menyediakan rumah yang nyaman buat anak cucu, lihat aku dan saudaraku masih diperantauan karenamu
ohya jangan menambah hutang lagi ya, mbah
kelak, masak itu yang kau wariskan pada kami
“ Selamat ulang tahun, bagaimanapun aku sangat mencintaimu"
(Causway Bay, Juli 2009)
Menguak Palung Kenangan | Mega Vristian
Menguak Palung Kenangan
Mega Vristian
jerit tangis bocah tak mampu menahan tekad kepergian ibunya
Di pintu pagar tanaman beruntas berjanji akan menunggu kepulangan
pagar tanaman beruntas yang tak pernah meranggas kering, walau tiap pagi dipetik nenek buat lauk makan selalu tumbuh lagi begitu berulang sekian musim
hingga si bocah tumbuh ditimang penantian didewasakan arus waktu
Kilatan petir sesekali membelah gelap ruang
seorang bocah berdiri di tepian jendela kamar
menengadah ke langit mencari tatapan kasih ibu
yang mungkin tersangkut di rembulan diantara derasnya hujan
Perlahan sang anak bernyanyi
Ibu sosokmu timbunan puisi / yang kubaca dengan segenap hati dan jiwaku/ yang tak pernah kubayangkan jika akan menjadi terkenang/ Letih penantian tak harus berakhir kematian/ Aku pun ingin sepertimu yang selalu tersenyum/ selayak puisi akan selalu hidup/ mesti raga kelak tergeletak tak berdaya dikeranda
(Causway Bay, Juli 2009)
Seusai Badai Berpeluk Puisi | Mega Vristian
Seusai Badai Berpeluk Puisi
Mega Vristian
Nak, semalam angin berputar kencang,
pepohonan tumbang ribuan kelopak bunga berguguran
Kupu-kupu dan burung entah digiring angin kemana
papan-papan iklan kaum kapitalis runtuh
Jatuh tepat di kepala PJTKI yang sedang jadi turis.
Promosi jajaran photo perempuan Indonesia pencari kerja
depan kantor agen Hong Kong digoyang angin kekanan kekiri
terbaca jelas walau tak tertulis,
- murah, tak cocok bisa ganti dijamin aman karena ada pendekeng kuat
Angin Juga menerbangkan selendang bayimu.
Selendang merah batik bermotip naga
yang sengaja kau selipkan ke koper bertahun silam
ketika ibu bersiap perang,
melawan sakit, melawan luka, melawan ketidak berdayaan
selendang penuh ingus dan airmata itu,
prasasti katamu yang kita pahami berdua entah bagi ayahmu
Maap, ibu lupa mengangkatnya dari jemuran bambu di jendela apartemen
seusai badai reda kucari tapi hilang.
Angin bisa merampas dan menerbangkan apasaja
saat berkolaborasi dengan badai kuasa mengaduk bumi,
tapi tak bisa merenggut kenangan kebersamaan kita,
meski selendang penggendong bayimu tak akan lagi memeluk rindu akanmu dikesendirian dan dikedinginan malam-malamku
Pada genang sisa hujan yang tersisa di ceruk waktu
wajah ibu terpantul menua tapi semangat didada tak bisa diremukkan usia
Mata tak mampu lagi menembuskan benang ke lubang jarum
tapi masih bisa membaca jelas elegi sebuah penantian
kau tulis bertinta darah air mata di buku harian
yang kau simpan di lubuk hatimu
meski tak pernah kau bacakan padaku, tapi ibu bisa memahaminya
Nak,
Di tanah perantauan ternyata tak bisa egois memanjangkan hidup kita sendiri
Tapi ada yang harus dilakukan ketika melihat bulikmu, budemu
bulik dan budenya orang lain juga para perempuan pekerja rantau
ditindas orang lain, ibu tak bisa diam nak, sebagai manusia kita tolak dijadikan mesin.
(Hong Kong, Hung Hom ,19 Juli 2009)
Sabtu, 16 April 2011
Sajak Orang-Orang Yang Tergusur | Holy Adib
Sajak Orang-Orang Yang Tergusur
Holy Adib
hari ini kami harus pergi meninggalkan rumah
yang berpuluh-puluh tahun kami huni tempat kami mencipta,
membesarkan dan mendidik anak cucu kami
sebab kami tiada punya hak menempati tanah ini
kami hanya bisa menyaksikan
saat gajah-gajah besi itu merobohkan kenangan-kenangan
yang tersusun rapi di balik dinding rumah yang kami bangun dulu
tangis bocah-bocah mungil tangis kakek nenek yang menggigil
tangis ayah ibu kami yang mengerdil tak mampu menyentuh hati mereka
yang kami harapkan bisa menunda atau memberi waktu sebentar saja
untuk kami berkemas mengumpulkan sisa-sisa tenaga
meninggalkan rumah satu-satunya yang kami punya
kemana kami akan pergi membawa kaki yang kehilangan langkah ini
sedang rumah Tuhan pun tak mau menerima kami
yang selama ini kami yakini suci
sementara mereka hanya bisa berkata “kasihan sekali nasib mereka, ya”
ah, sudahlah tiada guna menyumpah-nyumpah
kami hanya sampah yang mengotori tatanan kota
karna itu kami harus pindah
demi terwujudnya pembangunan yang bersahaja
Padang, 20 Oktober 2010
Puisi Sosial | Puisi Bertema Sosial
Seorang Ibu Berbisik pada Calon Bayinya
Holy Adib
anakku jika nanti kau keluar dari rahimku, jangan menangis
simpan air matamu untuk esok hari
aku takut kau kehabisan air mata
untuk menangisi nasi yang tak ada dalam tudung
sebab kita tidak lagi mendapat beras miskin yang dibagi kepala desa
untuk sanak keluarganya yang berkarung beras dalam gudangnya
jika nanti kau keluar dari rahimku, tahan tangisanmu
air matamu lebih berguna untuk menangisi korban bencana alam
yang bantuannya tertahan di saku-saku para dermawan
dan di kantor-kantor urusan kemanusiaan
jika nanti kau keluar ke dunia diam saja setelah umurmu genap enam tahun
menangislah sekeras-kerasnya untuk pemimpin bangsa
yang gemar studi banding ke luar negeri
memakai uang bangsa atas nama tugas negara
sementara ribuan anak-anak terlempar ke jalan raya
karna tidak ada biaya untuk sekolah
saat kau lahir nanti jangan menangis anakku sayang
air matamu sangat berguna sekali untuk diminum para tenaga kerja di luar negeri
yang haus perlindungan dari negara yang mereka beri devisa
bila kau menangis saat lahir nanti maka air matamu
akan menyatu dengan air mataku
air mata kita akan menjadi samudera yang memeluk air mata para buruh
yang diberhentikan karna menanyakan gaji yang tidak pernah berkecukupan
membiayai anak istri dan berbagai keperluan
yang tidak sepadan dengan peluh yang berceceran di pabrik-pabrik
Padang, 1 November 2010
Jumat, 15 April 2011
Puisi Ayah | Puisi Tentang Ayah
Ayah
Holy Adib
aku ingin jadi yang pertama selalu memberi cahaya untukmu
sebelum matahari bangun lalu turun ke atas daun-daun
aku ingin lebih dahulu mengucapkan selamat pagi padamu
sebelum suara burung-burung bernyanyi tentang hari baru
tak kubiarkan udara pagi masuk ke paru-parumu
sebelum udara pengabdianku mengitari tempat tidurmu
biarlah aku wahai ayah yang kini jadi tanganmu untuk menjinjing dunia
waktumu berhenti menggali tanah dan menguak langit sudah tiba
kini giliranku berdiri di pintu rumah
menjaga keluarga sembari belajar menjadi dewa
Jakarta, 22 januari 2011
Sajak Perkenalan | Roy Goozly
Sajak Perkenalan
Roy Goozly
: Maema Daenk
berkaca pada sang kakak
mengembara ke negeri jawara demi sekantong masa depan
kemerdekaan putih abuabu melebur kini; terbanglah
taburi peta ini dalam kemasan senyum bugismu
tertancap di sini, meninabobokan para kampung dinasti
hinggapmu di Karangantu bersama kakak dalam satu sarang bibi
“Aku akan kembali terbang, walau kampungku masih bertabur api”
itukah janjimu, kala alam pikirmu basah oleh percakapan.
gerimis yang terus mengalir berlawanan
entah untuk apa, kita pun saling colek di ujung maya
hingga tak saling menahu
unsera, 2009
Puisi Orang Tua | Puisi Untuk Orang Tua
Puisi tuk kedua Orang Tua
Kulihat dari Garis kelopak Matanya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu memperhatikanku di waktu kecil hingga kini
Kulihat dari Raut wajahnya yang sudah mulai berkerut
dan aku tahu bahwa dia selalu menasehatiku di waktu kecil hingga Kini
Ku lihat dari mahkota di atas kepalanya yang mulai memutih
dan aku tahu bahwa dia selalu memikirkan keadaanku di waktu kecil hingga Kini
Ya Rabb
ku bersyukur pada Mu
engkau menciptakan Orang tua sebagai pembimbing jiwa ini
Ya Rabb
ku bersyukur pada Mu
engkau menciptakan Orang tua
sebagai tempat Utama berbagi hati ini di kala Gundah
ku ingin membahagiakannya hingga akhir menutup Mata
ku ingin membahagiakannya hingga Senyum terakhirnya
ku ingin membahagiakannya hingga Nasehat terakhirnya
Cikarang : Ahad 08-11-09
di keheningan Malam pada saat Bani insan banyak yang tenggelam dalam Mimpi
sumber : binamuslim.wordpress.com
Puisi Muhammad, ciumlah tanganku | Siti Sa’adah
Muhammad, ciumlah tanganku
Oleh: Siti Sa’adah
Tiga kali kukedipkan mata, untuk menghela lelah yang tak gentar mendampratku
tapi ku dianggap tak tahu, nasib menilap
mewaris payah di atas angka rupiah.
Gabah yang gatal dan kasar
meruas di telapakku yang bau matahari, Muhammad
Kepalaku merupa jemuran tahi burung di sawah
yang mengibas kelontengan dan boneka rakitan
sedang kakiku menjadi dam
menahan alir pengairan yang dibelokkan.
Kemarin, suamiku hilang dimakan hantu perawan.
Melupakan anak-anak yang belum pandai berucap
Gabah yang gatal dan kasar
melekat di ruas tanganku yang berdarah.
Sudikah kau Muhammad?
November, 2010
Puisi Episode Pagi | Rain Queen
Episode Pagi
Rain Queen
Kubuka lebar kedua bilik jantungku
Kuserahkan pada hujan : sirami lah..
Dari noda noda pengkhianatan
Dari darah keangkuhan
Angin fajar menyapa menggigilkannya
Biarkan ia membeku
Satu persatu lalat kecil terbang lepas dari bilik yang terbuka
Garis garis mentari mulai menusuk celah dan katup jantung
Menyegarkan aroma luka dari dalam ruang
Lonceng damai kembali kunikmati dari dahan ranting di taman
Embun merindu tanah betah bergumul di ujung dedaunan
Secangkir kehangatan dalam seteguk manis kopi
Dan bayangmu menyapa melengkapi pagi
Banda Aceh, Januari 2010
Puisi Tentang Dosa II | Rain Queen
DOSA II
Rain Queen
Sekumpulan awan hitam mengerjap matanya
Berulang kali berbelok arah tanpa jelas ; kadang berputar saja
Titik putih pun meradang, jatuhlah ia
Memental warna dedaunan kuning di hamparan alas
Sekali anginmu berhembus
Satu sepuluhnya pasti luruh, melayang, berputar sesaat, lalu tergeletak bisu.
Di bawah dedaunan hijau berkilau yang masih menggantung kaku
Merangkul pesona ini dengan kokoh pokokmu
Desir air yang jatuh
Tertawa-tawa ketika meliuk batu
Aroma riak hutan
Dan dingin yang menelusup di balik kulit
Satu nafas
Satu detak
Dalam gelombang hujan yang melebar
: dan dosa yang sama perlahan menarik kaki kaki itu ke pusaran air
Lenyap di permukaan
Dan hening kembali merayap
Air Terjun Kuta Malaka - Aceh Besar, Februari 2010
Puisi Perindu Pagi | Rain Queen
Perindu Pagi
Puisi Rain Queen
Dalam temaram api sebatang lilin bisu
Hembus nafas malam berbayang di jendela
Berderak ranting mengusik lelap penakluk sujud pagi
Sibakkan selimut embun
Telah lama kukais rindu dalam dosa
Kelam hati jarakkan Kau dan aku
Ini rindu beku
Kujatuhkan ke bumi hingga terburai
Dan butir butir itu melayang padaMu
Kubasahi tanahMu dengan bening kristal kudus
Ruhku mencium kakiMu
Ketika malam perlahan turun
Kulepas sesaat pelukanMu
Untuk kurindu kembali
Banda Aceh, Februari 2010
Puisi Malamku Begitu Panjang | Rain Queen
Malamku Begitu Panjang
Rain Queen
Maaf malam, aku tak bisa menyesapmu dalam lelap
Dan aku tak sempat menyeduh mimpi yang hari ini berwarna jingga
Tubuh telah lama meranjang
Entah, jejaring laba laba enggan menyulam mataku
Jangan salahkan kelambu langit yang pekat hitam
Sebab kerlap kerlip menitik manis demi mimpi musafir
Hanya aku yang lupa, bagaimana menghitung pungguk bernyanyi
Kirim aku rasa lelah, tuan malam
Kurindu selimut kabutmu
Membungkus diri
Banda Aceh, Mei 2010
Kamis, 14 April 2011
Puisi Bulan Cemara | Musthofa Aldo
Bulan Cemara
Puisi Musthofa Aldo
Ada gemerisik nilai di pucuk-pucuk cemara
Ketika semak-semak yang basah mendesahkan bulan
Dan kangkah kita yang tak kekal
Mencari bongkahan-bongkahan mimpi di balik bantal
Bulan
Cemara
Di sebuah telaga
Tempat seekor burung mencuci sayapnya yang luka
Kutemukan darah mimpi anak cucuku yang merah
Telah ditanam di ladang doa dan airmata.
Bulan
Cemara
Kelak di ladang inilah kunantikan
Anak cucuku membawa beras bergantang-gantang.
2009
Asmaradana Di Kembang Cempaka
Asmaradana Di Kembang Cempaka
Oleh: Musthofa Aldo
Madura! Di ubun gua payudan. Aku berdiri dengan dada
Terbakar kemarau, daun-daun berguguran sepanjang
Jalan pulang. Sebab tapa bebatuan telah jadi batu karang
Dan pada sejarah moyang yang mengental di dinding kenangan
Kutemukan asmaradana berderai di kembang-kembang cempaka
Madura! Tanahmu retak berkali-kali. Tapi ringkik kuda dan
Lenguh sapi tak pernah lelah mengaji mimpi, diatas pusara
angin termangu. Di altar-altar doa dupa mengepul tanpa bau.
Madura! Sungai-sungai menggeliat dalam tidurku
Mengairi ceruk bantal dan guling. Menghayutkan doa
Bebatuan ke pintu zaman dan digua payudan aku terus berdiri
Menunggu hujan dengan dada terbakar kemarau.
Januari 2009
Puisi Api Unggun di Atas Sajakmu | Musthofa Aldo
Api Unggun di Atas Sajakmu
Oleh: Musthofa Aldo
Di sepanjang via dolorosa
Para demonstran membuat api unggun diatas sajakmu
Dan langit pun kehilangan warna
Dan sajak-sajakmu kehilangan kata-kata.
Lalu, bercak-bercak darah bercipratan
Bersama hujan yang gundah sepanjang malam
Menyirami jejak-jejak huruf yang tinggal puing
Menghayutkan perih pada liang luka berkeping-keping
Malam itu kusaksikan
Seorang musafir memanggang puisi
Diatas api unggun itu.
2009
Puisi Aku Tulis Sajak Cinta Ini | Musthofa Aldo
Aku Tulis Sajak Cinta Ini
Oleh: Musthofa Aldo
Ingin selalu kupersembahkan untukmu
Sajak-sajak yang sederhana
Sekuntum cinta yang sederhana
Segumpal rindu yang sederhana
Sebab hidupku yang sunyi memintaku
Bercinta lebih dari sekedarnya
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
Qois pada Laila karena bulan baru sembuh dari gerhana
Aku ingin menyayangimu dengan sederhana
Dengan isyarat-isyarat cinta pada mata
yang tak sempat mengerling
lantaran senja semakin rahasia
kukatakan sekali lagi
bahwa aku mencintaimu
maka pukullah aku jika kau tak suka
hari-hari yang kulalui
hanya berbatas dinding dan malam
sepi memintal leher dan mencekik penantian bulan
aku mencintaimu
langit dan bumi inilah saksinya
maka lemparlah bila kau tak suka
karena aku pun tak sengaja mencintaimu
aku tulis sajak cintaku ini
karena tak bisa kubisikkan padamu
rindu mengarungi senin, selasa, rabu dan seluruh minggu
untukmu, akan kutanam pokok-pokok melati dihatiku
dan akan kuantarkan harumnya pada lubuk hatimu.
2009
Rabu, 13 April 2011
Biografi Toto Sudarto Bachtiar
Biografi Toto Sudarto Bachtiar
Dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain Pelacur (1954, Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958, Harold Lamb), Bunglon (1965, Anton Chekov), Bayangan Memudar (1975, Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976, Ernest Hemingway), dan Sanyasi (1979, Rabindranath Tagore). Ia merupakan catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, Tentang Kemerdekaan.
Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.
Sajaknya yang berjudul Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.
Bersama Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan”sejarah. “
Toto Sudarto Bachtiar yang biasa dipanggil Kang Toto adalah penyair yang sangat dikagumi oleh para penulis remaja, sejak akhir tahun 1950-an. Hampir tiap kali ada kegiatan lomba baca puisi (deklamasi) antar pelajar Jawa Barat, maka puisi gubahannya selalu menjadi wajib. Penampilannya sangat sederhana, sampai di hari-hari terakhir hidupnya ia tidak pernah terlihat memakai sepatu, kecuali sepatu olah raga. Kebiasaannya, memakai sandal atau sepatu sandal. Kesukaannya adalah bepergian memakai kendaraan umum atau angkot. Kadang-kadang diantar sopir keluarga, hanya didrop ke tempat tujuan.
Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.
(Berbagai Sumber)
Puisi Gempa Bumi Padang | Puisi Karya SBY
Dalam Duka, Kami Bangkit
Karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tanah Minang pernah terguncang di senja gulita
oleh bencana yang tak terduga
Kuingat jerit dan tangis
membelah sudut-sudut kota dalam kelam dan duka
Di bumi ini, ribuan anak negeri
tiba-tiba pergi ke Hadirat Illahi
Di kota ini
Ratusan syuhada berpulang ke alam baka atas takdir Yang Maha Kuasa
Ya Allah, meski hati kami tergores lara mengenang mereka yang kucinta
Kami bersujud dalam tawakkal ikhlas menerima cobaan
Tetapi, Ya Robbana kami tak pernah menyerah dalam pasrah
dan bukankah dalam musibah selalu ada berkah
yang menuntun kami terus berkarya dan beribadah.
Kami semua telah bangkit dengan tekad dan cita-cita
untuk membangun kota ini memajukan negeri kami
dalam cahaya iman dan rahmatMu
29-9-2010
sumber : kompas.com
Puisi O Nestapa | Cesillia Fofied
O, NESTAPA
Cesillia Fofied
Hari ini perbedaan merentangkan sayapnya
seperti dalam kepak-kepak para nestapa
keniscayaan yang tak terbantahkan
patah terbungkus
ragu itu menyelimuti keramaian
Sepertinya,
aku menemukan kegelisahan
ketika setiap perwujudan
selalu berbentur moral dan etika
pada setiap etalase
pada jejak keserakahan
dalam lingkar kapitalisme cacat,
orang-orang terpekur
Sejarah adalah kesepakatan
pada pertentangan dan pertempuran
pada penindasan dan keterasingan
dalam kerinduan bertambah sangat,
di mana aku menyapamu?
Ya, keterasingan
kata itu merubah gairah
menjadi dendam dan amarah
Jadi,
kemana harus kulemparkan
sebagian semangat yang tiba-tiba patah
lari seperti keputusasaan
dan tersembunyi bagai ilalang terbakar,
para nestapa masih menungguku
AK.1062901
Puisi Aku Nusantara | Cesillia Fofied
AKU NUSANTARA
Cesillia Fofied
Aku penyaksi
Yang telah mendengar sumpah berjuta durjana
Memunguti janji di kerak-kerak neraka
Aku penyaksi
Dari mereka yang mengaku revolusioner sejati
Setiap ceramah paling sosialis
setiap bertindak atas nama rakyat
di atas negeri yang bernama Nusantara
( Maaf aku kurang suka nama Indonesia, yang membuat tetangga memanggil Indon!?!)
Karena bumi ini kuwarisi dari
Mulawarman
Syailendra
Arok
Kertanegara
Marah silu
Balaputradewa
Raden wijaya
Hayam wuruk dan Gajah Mada
I Gusti ketut Jelantik
Tan Malaka
syahrir
Soekarno ( maaf, tetapi saya lebih suka Nusantara )
Hatta
Pram
Bukan dari
Spanyol
Portugis
Belanda
Jepang
IMF
Silahkan pergi!
Aku mau berdiri di atas kakiku sendiri!
AK.8092403
Puisi Sampai Batas Senja | Ilham Wahyudi
SAMPAI BATAS SENJA
Ilham Wahyudi
Kekasihku ingin aku mengendongnya sampai batas senja
sehingga ia dapat melihat matahari berendam di perut bumi
burungburung pulang dengan perut kenyang
bulan cemas sebab awan sedang bersedih
mendengar rintih katak yang kesepian di pinggir kolam
dan mana tahu gerimis kali ini sudikiranya turun membasahi
pipi merahnya seperti purnama
kekasihku juga memintaku menyayikan lagulagu rindu
agar suasana hatinya yang kacau berangsur normal
sejak pertemuannya tempo hari dengan seekor ular
semuanya tibatiba jadi berubah
seolah ular itu adalah isyarat tentang usianya
tapi kekasihku, ia tidak percaya pada katakataku
bahwa semua itu tak ada hubungannya samasekali
pada usia yang telah tuhan tetapkan batas ujungnya
kekasihku semakin erat memelukku, sangat erat sehingga
aku sulit sekali bernafas dan berbicara kalau aku sepenuhnya
setia bersumpah takkan meninggalkannya, walau sedetik
tapi kekasihku makin kuat memelukku dengan kedua lengannya yang beku
lalu kurasakan pundakku hangat menampung gerimis yang pelanpelan turun
aku mencoba menoleh ke pundakku; apakah ia menyaksikan gerimis ini turun?
sebab sudah sejak lama ia ingin sekali menyaksikan gerimis turun di batas senja
tapi apa yang kusaksikan bukanlah wajah bahagianya
melainkan mata kekasihku terpejam lekat
di batas senja yang pekat
dan gerimis, benarbenar gerimis
Medan. Februari 2009
Puisi Cinta Kian Membentang
CINTA KIAN MEMBENTANG
Puisi Ilham Wahyudi
– untuk kawan kawan di pabrik kopi
mereka tak menemukanku lagi di sana:
kebahagian adalah senyuman
cinta yang menyembur dari mata
menyelinap di katakata kami;
kini dulu
aku ini batu kata karung goni
sahabat luka kata kopi
tawa canda kami memekik
pada mesinmesin penimbang berat
dan diamdiam telah kami curi kebahagian
dari celah celah butir keringat
(satu awan gelap memandang sinis
teh manis kami tumpah – kadang juga kopi
baju kami basah
akh, lupakan saja, kita gulung lagi tawa
hahahaha)
roda waktu mengejar nafas
senyum anak kami; ingin disuap
lonceng berdentang:
sayur dari dagingku; ikan dari darahku
makanlah, nak
rinduku makin gila:
pun tak kusangka
acap kali aku tergoda
menjual lambungku
kau pisau tumpul tapi tajam
ada logam tikamlah
sampailah pada ujung perjumpaan:
seluruhnya menjadi kenang
kunangkunang malam yang terang;
cintaku kian membentang – samudera
Medan. Februari 2009
Puisi Gadis Lembah Seberang | Ilham Wahyudi
GADIS LEMBAH SEBERANG
Ilham Wahyudi
kalau langit mengijinkan
bulan purnama ini aku akan menyuntingmu
gadisku
gadis terang dari lembah seberang
pikat sukma jiwaku melayang
katakan pada seluruh tetua di sana
tak usah menyembelih binatang ternak
aku telah memotong sembilanpuluhsembilan
kerbau putih
tigapuluhtiga jenis rempah-rempah dari tanahku
sembilan daun sirih macam rasa
serta tiga kilo emas putih
sebagai maharku
gadisku,
kelak masaklah apa yang kita tanam dari kebun-kebun pengharapan
suapi si bungsu dengan senyum yang kau pamerkan
saat pandanganku terbentur matamu
pegang juga pundakku sebab aku akan menggosok rasa letih
yang menempel di kaki jenjangmu dengan seluruh keringat
yang kutampung dari sekujur tubuhku
mengendongmu ke ranjang yang dipenuhi bunga-bunga mawar
gadisku,
gadis terang dari lembah seberang
bersiap-siaplah aku akan segera datang
mencurimu dari kedua orang tuamu
orang-orang yang memperdulikanmu
tanah yang selalu merindukanmu – sepertiku –
selalu
Medan. Maret 2009
Puisi Pemabuk | Ilham Wahyudi
PEMABUK
Ilham Wahyudi
Oia, akukan pemabuk
Hantu malam dari lubang jahannam
Anjing liar dari kebunkebun pembantaian
Tolong tuangkan lagi luka itu, kawan!
Gelasku sudah kosong, lagi pula lambungku masih lapang
Memendamnya.
Cengeng!
Jangan kau habiskan air mata itu, tolol!
Besokkan film horornya masih diputar
Apa?
Kau bilang film komedi yang membuat kau menagis?
Hahahaha…puji tuhan!
Lantas mengapa kau menagis?
Kau menangisi mereka – orangorang suci itu?
Hahahaha…ternyata kita sama rupanya, kawan
Hantu malam dari lubang jahannam.
Taik kucing!
Aku melihat taik mata di bulan
Kau mengajakku begadang?
Dendang lagu dendang rindu
Akh…pilu!
Medan. Maret 2009
Biografi Fandy Hutari
Biografi Fandy Hutari
Fandy Hutari, lahir di Jakarta 17 Agustus 1984, menulis puisi kalau sedang galau menghampirinya. Ini merupakan puisi-puisi kenangan-kenangan saat masih kuliah dulu. Adalah penulis esai, buku, novel, cerpen, dan puisi. Esai, puisi, dan cerpennya dimuat di beberapa media cetak dan online. Dua bukunya yang sudah diterbitkan adalah Sandiwara dan Perang; Politisasi terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Ombak, 2009), dan Ingatan Dodol (Insist Media Utama, 2010). Penulis bisa dihubungi di Email: fandyhutari@yahoo.com. Facebook: Fandy Hutari (sandiwaradanperang@writeme.com).
Puisi Tanya | Puisi Tentang Tanya
Tanya
Fandy Hutari
Berpuluh-puluh, beratus bahkan beribu tanda tanya
terbalik terus berkelebat di dalam otak-otak bebal manusia,
yang kebanyak sulit mendapatkan jawaban rasional
Tanya adalah sebuah kebingungan manusia
yang sebagai makhluk berakal tentu punya hasrat ingin tahu
Kenapa-kenapa-kenapa?
Bagaimana-apa-di mana-kapan-apa yang harus?
Kalimat umum yang sering dihujankan
guna mengajukan satu per-ta-nya-an.
Sekali lagi, mungkin sulit dijawab...
Jatinangor, 2003
Tuhan Bermain Musik, Semalam...| Fandy Hutari
Tuhan Bermain Musik, Semalam...
Fandy Hutari
Alunan musik terdengar dari langit, semalam
Tak ramah nada yang dikeluarkan
Bising dan bergemuruh
Tuhan sedang bermain musik semalam
Ketika aku hampir terlelap dalam mimpi,
tiba-tiba ia memainkan semua alat musiknya
Dentuman saut-menyaut
Tak berirama Langit yang sudah tumpah,
ditambah suara hentakkan tak henti-hentinya
Tuhan bermain musik semalam
Dan itu gratis Hanya untuk kita
Jakarta, Januari 2010
Selasa, 12 April 2011
Puisi Malam Kota dan Ribu-Ribu Kata
MALAM KOTA DAN RIBU-RIBU KATA
Surtini Hadi
Secangkir coklat panas
Sendiri di meja bulat telur kayu trembesi
Di sudut kafenya orang-orang berwajah puisi
Sembunyi pada temaram yang tawar—ditinggal tuannya
Panggung berderik
Saat kursi geser kesana kemari
Tubuh tuan secangkir coklat panas
Tersiram oranye pucat lampu sorot
Bibirnya bergerak-gerak
Menyantuni malam kota dengan ribu-ribu kata
Puisi apa yang dia baca
Seperti puisi hujan yang kemarau
Seperti puisi laut pasang yang surut
Seperti puisi penghabisan
Bulungan, end of nov 09---
Biografi Surtini Hadi
Biografi Surtini Hadi
Surtini Hadi, Penyair perempuan lulusan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto ini, menulis puisi sejak Aliyah Pernah nyantri di Nurul Hidayah Purworejo dan di PPQ Al Amin Purwokerto. Puisi-puisinya terdokumentasi dalam buku KAKI LANGIT SASTRA PELAJAR, Horison, Jakarta (2002), KEMILAU MUSIM, Pekanbaru (2003), PESONA GEMILANG MUSIM, Pekanbaru (2004) dan PROGO 2, Temanggung (2008).
Beberapa puisi,cerpen dan artikelnya tentang perempuan pernah dimuat di :
Suara Merdeka, Horison, Muslimah, Annida, Sabili, Tabloid MQ, Cybersasta.net, eramuslim.com, Radar Banyumas, Surya online, rumahkiri.net, Annida Online, Semarak Bengkulu, Pro Justitia, Karima, Setara, Instalasi, Obsesi, Kosmik, Bina Desa, Fadilah.
Semasa kuliah aktif diberbagai kegiatan kemahasiswaan, dan sempat menjadi pemimpin redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Pro Justitia. Membidani lahirnya Forum Diskusi Santri (FOKUS) Al Amin dan Buletin Al Afkaar. Pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) Purwokerto, Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Purwokerto,dan Focal Point Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Banyumas.
Selepas kuliah beraktifitas sebagai reporter di Majalah Sastra Pesantren FADILAH Yogyakarta, Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Purwokerto (P-KBHP), sebagai ketua divisi kebijakan publik, Sekjend Gerakan Aliansi Rakyat untuk Penghapusan Utang (GARPU) Purwokerto, Pengelola Pesantren Lingkungan Hifzhul Bi’ah Merapi DIY, dan sebagai voluntair di LAPERA Indonesia DIY
Saat ini, selain terus belajar menulis berusaha mengembangkan Rumah Baca JALAN DAENDELS yang ia dirikan di Nampurejo Rt01/I No.18 Purwodadi Purworejo Jawa Tengah. Contact Person : email/fb; kembaragadis@yahoo.com
Puisi Garuda | Puisi Bertema Garuda
GARUDA
Saut Poltak Tambunan
Dalam temaram garudaku nelangsa
terjelapak jatuh di belakang gudang jemuran padi
lunglai lehernya terkulai
digelantung beban lambang-lambang besar
sementara gambar lainnya berebut posisi
di kepala
di mata
di dada
di paruh
di cakar
Dalam temaram gagahnya sirna
Perisai lama bergambar lima
telingsut lenyap entah di belahan dada mana
Tujuhbelas delapan empatlima
bulunya jadi umbul-umbul dan bendera
berkibar berkobar berwarna-warna
Dalam temaram garuda meradang tiba-tiba
mencakar mata sendiri
mematuk cakar sendiri
merobek dada sendiri
Dalam temaram garuda berteriak:
tak akan cucakrowo menggusur aku!
lalu diam
lalu diam
lalu &%$@%$#&% ...!?
November 2009
Masih, Meski Bukan yang Dulu
Masih, Meski Bukan yang Dulu
Saut Poltak Tambunan
Risaukan apa lagi, kekasihku.
Masih ada taman ini menjulurkan rindangnya untuk kita berteduh.
Masih ada rumpun semak untuk kita sembunyi bercumbu.
Masih ada kupu-kupu putih mungil melintas di atas kepala kita.
Masih, meski semua itu bukan yang dulu.
Risaukan apa lagi, kekasihku.
Masih ada langkah yang bisa kita ayun bersama, meski sedikit goyah terseret.
Masih ada helai rambut yang harus kusibak di keningmu
untuk dapat membisikkan suara dari hatiku, meski mulai memutih.
Pendengaran kita mungkin mulai berkurang,
tetapi kita selalu sudah mendengar sebelum kita mulai mengatakannya.
Risaukan apa lagi, kekasihku, aku selalu ada,
meski semakin meski..
spt, mei 2009
Biografi Saut Poltak Tambunan
Biografi Saut Poltak Tambunan
Saut Poltak Tambunan, lahir di Balige, kota kecil pinggir Danau Toba, menikah dengan gadis Kawanua - Menado (Lenny Runturambi). Mungkin tidak laku untuk gadis Batak karena tidak bisa main gitar dan tidak suka catur. Punya anak 3 (1-2 perempuan, alumni di PR London School dan alumni FH Unpad, yang ke-3 laki-laki masih tahun I di FIKOM UNPAD).
Saut Poltak Tambunan, adalah penulis cerita pendek, novel, skenario, puisi, kolom, artikel. Mantan PNS, tahun 1981 mendirikan Yayasan Pengarang Indonesia AKSARA di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua I dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Pengarang AKSARA hingga sekarang. (Oktober 2009 mendirikan Komunitas Kedailalang – Kedai Sastra Ide Kalimalang bersama Kurnia Effendi (KEF) dan teman-teman. Aktif menyelenggarakan workshop penulisan cerpen/novel dengan bukunya ’Kiat Sukses Menulis Novel’.
Saut menyelesaikan/menerbitkan puluhan novel, ratusan cerita pendek/artikel dan skenario film/sinetron. Beberapa novelnya menjadi bestseller pada dekade tahun 80-an, diangkat ke layar lebar dan belakangan menjadi sinetron. Antara lain, Hatiku Bukan Pualam (layar lebar), Jangan Ada Dusta (sinetron), Dia Ingin Anaknya Mati (Sinetron Mini Seri), Harga Diri (layar lebar) , Yang Perkasa (layar lebar), Jalur Bali (layar lebar). Beberapa novel masih dalam penulisan skenario untuk sinetron, yaitu Harga Diri, Kembalikan Anakku, Lia Nathalia, Permata Hati. Termasuk 3 kumpulan cerpen Rinai Cinta Seorang Sahabat (1985) Lanteung, (2004), Jangan Pergi, Jonggi (2005). Kumpulan cerpen ke-4 ’Tortor Orang Batak’ sedang dalam proses.
Sambil menjadi PNS ketika di Jakarta, sempat nyambi menjadi wartawan, editor dan penulis kolom ‘perilaku konsumen’ pada majalah Kartini termasuk ’penjaga gawang’ Departemen Buku Kartini. Juga sempat menjadi dosen pada Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) dan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Jakarta. Tahun 2008 menjadi co-writer dan editor untuk buku marketing managemen berjudul Launching.
Panembahan Rendra | Puisi Asep Sambodja
Panembahan Rendra
Asep Sambodja
penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
segala upeti segala korupsi
ditulis penyair dalam puisi
kini bukan saatnya bicara cinta
karena cinta adalah kabut
dan asap belerang
yang mencemari kejernihan berpikir
dan berpendapat
penyair selalu setia
pada keindahan kejujuran
keindahan kesederhanaan
kebersahajaan
dalam kata dan tutur kata
penyair adalah mimpi buruk
bagi penguasa
yang lupa diri
yang rakus
dan tamak
Citayam, 25 Oktober 2009
Menonton Televisi Pagi Ini
Menonton Televisi Pagi Ini
Asep Sambodja
Gayus Lumbuun dan OC Kaligis
tampil di televisi pagi ini
sama-sama pakar hukum
sama-sama tahu hukum
sama-sama melek hukum
sama-sama bicara soal cicak dan buaya
sama-sama tegang
sama-sama yakin benar
sama-sama emosi
sama-sama paling benar
sama-sama ingin pengaruhi opini publik
sama-sama bersuara keras
sama-sama tua
sama-sama membela kebenaran menurut siapa
sama-sama lantang
sama-sama mau pukul-pukulan
sama-sama mau bertinju
sama-sama merasa kata-kata tak ada gunanya
sama-sama berdarah panas
sama-sama ahli hukum
sama-sama mengerti hukum
sama-sama panas
sama-sama mengepalkan tinju
sama-sama bersilat lidah
sama-sama mau pukul
sampai-sampai Denny Indrayana
memisahkan mereka
penonton ketawa!
jangan kemana-mana
setelah yang satu ini
kita panggil ambulance
Citayam, 2 November 2009
Rabu, 06 April 2011
Puisi Tentang Hukum | Kepada Bambang Widjajanto
Kepada Bambang Widjajanto
Asep Sambodja
negeri ini sedang sakit
dan sekarat
semestinya lembaga penegak hukum
harus berada di tangan orang-orang sepertimu
bukan di tangan buaya-buaya
yang ngiler melihat Rp 7 M
“Hallo?”
siapa Anggodo?
siapa Ong Yuliana?
kenapa aparat penegak hukum negeri ini
begitu keder mendengarnya?
inilah mafia peradilan
yang telanjang
di sidang Mahkamah Konstitusi kita
bahwa lembaga penegak hukum
menjadi lembaga paling diancuk
di negeri ini
Citayam, 3 November 2009
Puisi Tentang Makam Penyair | Asep Sambodja
Makam Penyair
Asep Sambodja
Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama
Puisi adalah makam para penyair
namanya terpatri di batu nisan
abadi dalam kesunyian
jadi tempat terindah
para peziarah
Puisi adalah makam para penyair
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra
dan siapa saja duduk di dalamnya
duduk seperti patung Ganeca
dan kita mempelajarinya
sampai habis kata
sampai habis nyawa
Citayam, 25 Oktober 2009
Biografi Asep Sambodja
Biografi Asep Sambodja
Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Depok pada 1993, dengan skripsi berjudul Pariksit, Interlude, dan Asmaradana: Telaah Isi Sajak-sajak Goenawan Mohamad. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di tabloid Bintang Indonesia, majalah Sinar, majalah Ummat, tabloid Madani, media online Satunet.com, Otogenik.com, majalah Fokus Indonesia, dan majalah sastra Imajio. Sejak 2005, ia menjadi dosen di almamaternya, Program Studi Indonesia FIB UI.
Ia aktif menulis puisi. Sejumlah puisinya dimuat di beberapa media massa, antara lain Media Indonesia dan Koran Tempo, serta dalam antologi puisi, yakni Graffiti Gratitude (2001), Ini Sirkus Senyum (2002), Bisikan Kata, Teriakan Kota (2003), Dian Sastro for President!: End of Trilogy (2005), Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk (2005), Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005), Mekar di Bumi (2006), Jogja 5,9 Skala Richter (2006), dan Legasi: Antologi Puisi Nusantara (2006).
Ia juga menjadi editor kumpulan cerpen karya mahasiswa UI, yakni Batak is The Best! (2006; bersama Saeno M. Abdi), Tuhan buat Vasty (2007), dan Untukmu, Munir (2008). Ia juga menulis cerpen. Salah satu cerpennya dimuat dalam antologi cerpen Batu Merayu Rembulan (2003) yang dieditori Heri Latief. Ia pun menjadi salah satu editor untuk buku Aceh Merdeka dalam Perdebatan (1999; bersama Tulus Widjanarko) dan kumpulan esai Cyber Graffiti (2001). Pada 2005—2008 menjadi penyunting pelaksana di Jurnal Susastra. Selain menjadi dosen di UI, ia juga menjadi editor di Penerbit Bukupop.
Esai-esainya dimuat di Republika dan Sinar Harapan. Beberapa esainya dibukukan dalam Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004), Dari Kampus ke Kamus (2005), Kebenaran akan Terus Hidup (2007), dan Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra (2007). Ia telah menulis dua skenario, yakni Air (2000) untuk film pendidikan di BIPA FIBUI dan Rekonsiliasi (2003) untuk pementasan monolog (stand up comedy) Iwel Well di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), 6 Maret 2004. Bersama M. Yoesoev, ia menjadi Pembina Teater UI (2005—2008). Ia pernah menyutradarai Teater UI untuk pementasan di Panggung Seni UKM, Malaysia, dengan lakon Khotbah karya Rendra.
Ia telah menerbitkan buku puisi Menjelma Rahwana (Komunitas Bambu, 1999), Kusampirkan Cintaku di Jemuran (Bukupop, 2006), Ballada Para Nabi (Bukupop, 2007), dan Berhala Obama dan Sepatu buat Bush (Ultimus, 2010). Buku teks yang telah diterbitkan adalah Cara Mudah Menulis Fiksi (Bukupop, 2007) dan Historiografi Sastra Indonesia 1960-an (Bukupop, 2010).
Meninggal 9 Desember 2010.
Puisi Seandainya Saya Luna Maya
Seandainya Saya Luna Maya
Puisi Asep Sambodja
barangkali aku akan mati berdiri
kalau setiap hari
pertanyaan yang kudengar hanya ini:
kapan kawin?
ah, pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu saja
tak pernah berkembang
tak pernah bermutu
dari dulu hingga nanti
pertanyaannya melulu kawin, kawin, kawin…
kalau sudah kawin:
selingkuhkah?
kapan cerai?
ah!
tak ada berita
dan aku hanya jadi barang dagangan
bagi gosipers dan paparazi
yang haus urusan orang lain
Citayam, 18 Desember 2009
Puisi Kekaguman | Kepada Romo Mangun
Kepada Romo Mangun
Asep Sambodja
aku mengagumimu hingga kini
bukan karena kau sastrawan
bukan karena kau pastor
bukan karena kau katolik
bukan karena kau kaya
tapi karena kasih sayangmu
pada orang-orang miskin
pada orang-orang yang dianggap sampah
oleh negara atau kaum borju
kasih sayangmu pada orang-orang pinggir kali code
dan orang-orang tergusur di kedungombo
meyakinkanku bahwa kaulah pahlawan sejati
pahlawan bagi orang-orang miskin
pahlawan bagi orang-orang yang disampahkan
pahlawan bagi kaum tertindas
ingin aku berguru padamu
dan kubayangkan hidup yang indah
jika ulama dan rohaniwan jakarta
belajar padamu
lakukan hal yang sama
pada orang-orang pinggir kali ciliwung
dan orang-orang yang tergusur
oleh mal dan jalan tol
bantuanmu pada orang-orang miskin
begitu konkret
dan tak kau pamerkan di depan publik
hingga mereka berduyun-duyun datang
menjemput maut
tidak, kau tidak begitu
kau hanya memberi
kau hanya memberi
Citayam, 22 Desember 2009
Puisi Pengakuan Dosa | Asep Sambodja
Pengakuan Dosa
Asep Sambodja
+ Bapa, saya mau mengaku dosa
- Wajahmu sudah mengisyaratkan setumpuk dosa, ada apa?
+ Bapa, saya sudah mencium seorang perempuan
- Keterlaluan! Apakah ia istrimu?
+ Bukan Bapa, makanya saya mau bertobat.
- Apakah ia adikmu?
+ Bukan Bapa
- Pacarmu barangkali?
+Bukan juga Bapa, saya sudah mencium perempuan lain
- Maksudmu?
+ Mohon ampun Bapa, ia anak tetangga
- Begitu? Hmmm, apakah ia merespons ciumanmu?
+ Untuk apa Bapa tanyakan itu
- Jawab saja! Jangan banyak tanya.
+Tidak tahu Bapa
- Ia tidak marah?
+ Tidak Bapa
- Apakah ia bergairah?
+ Maksud Bapa?
- Jawab saja! Jangan menjawab dengan pertanyaan
+ Sungguh saya tidak tahu Bapa. Ia masih bayi, umurnya lima bulan.
- Diamput! Itu bukan dosa, tapi kasih sayang!
+ Betul Bapa? Tidak dosa Bapa?
- Diamput! Kamu sudah menghabiskan waktuku 5 menit untuk sesuatu yang lucu!
+ Terima kasih Bapa
- [dalam hati] Iseng banget ini orang!
Citayam, 22 November 2009
Puisi Tentang Candi | Candi Mendut
Candi Mendut
Sanusi Pane
Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Budha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini
Tidak berombak, diam semata;
Azas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi, kehidupan rata.
Diam hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia Maya
Terbang termenung, ayuhai, jiwa,
Menuju kebiruan angkasa,
Kedamaian Petala Nirwana.
Puisi Karya Sanusi Pane
Puisi Kesadaran | Puisi Bertema Kesadaran
Kesadaran
Sanusi Pane
Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku melayang kelangit bintang,
Dengan mata yang bercaya-caya,
Punah sudah apa melintang,
Apa yang dulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; aku mendahului,
Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dengan melalui,
Hati sendiri
Puisi Karya Sanusi Pane