A. Pengertian Penyesuaian Diri
Sebelum penulis memaparkan tentang penyesuaian sosial, terlebih dahulu akan disajikan pengertian mengenai penyesuaian diri, sebagai landasan dalam membahas penyesuaian sosial. Dalam istilah psikologi, penyesuaian disebut dengan istilah adjusment. Adjustment merupakan suatu hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial (Chaplin, 2000: 11). Manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya.
Lebih jelas Schneiders (1964: 51) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai berikut:
“A process, involving both mental and behavioral responses, by which an individual strives to cope successfully with inner, needs, tensions, frustration, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by objective world in which the lives”.
Penyesuaian diri merupakan proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat ia tinggal.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya.
Scheneiders (1964: 51) mengemukakan beberapa kriteria penyesuaian yang tergolong baik (well adjusment) ditandai dengan:
- pengetahuan dan tilikan terhadap diri sendiri,
- obyektivitas diri dan penerimaan diri,
- pengendalian diri dan perkembangan diri,
- keutuhan pribadi,
- tujuan dan arah yang jelas,
- perspektif, skala nilai dan filsafat hidup memadai,
- rasa humor,
- rasa tanggung jawab,
- kematangan respon,
- perkembangan kebiasaan yang baik,
- adaptabilitas,
- bebas dari respon-respon yang simptomatis (gejala gangguan mental),
- kecakapan bekerja sama dan menaruh minat kepada orang lain,
- memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain,
- kepuasan dalam bekerja dan bermain, dan
- orientasi yang menandai terhadap realitas.
Schneiders (1964: 51) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjustment person) adalah mereka dengan segala keterbatasannya, kemampuannya serta kepribadiannya telah belajar untuk bereaksi terhadap diri sendiri dan lingkungannya dengan cara efisien, matang, bermanfaat, dan memuaskan. Efisien artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut dapat memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan tanpa banyak mengeluarkan energi, tidak membuang waktu banyak, dan sedikit melakukan kesalahan. Matang artinya bahwa individu tersebut dapat memulai dengan melihat dan menilai situasi dengan kritis sebelum bereaksi. Bermanfaat artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut bertujuan untuk kemanusiaan, berguna dalam lingkungan sosial, dan yang berhubungan dengan Tuhan. Selanjutnya, memuaskan artinya bahwa apa yang dilakukan individu tersebut dapat menimbulkan perasaan puas pada dirinya dan membawa dampak yang baik pada dirinya dalam bereaksi selanjutnya. Mereka juga dapat menyelesaikan konflik-konflik mental, frustasi dan kesulitan-kesulitan dalam diri maupun kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya serta tidak menunjukkan perilaku yang memperlihatkan gejala menyimpang.
Selain itu, Schneiders (1964: 52) mengemukakan penyesuaian diri bersifat relatif, hal tersebut dikarenakan beberapa hal berikut:
- Penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mengubah atau memenuhi banyaknya tuntutan yang ada pada dirinya. Kemampuan ini dapat berbeda-beda pada masing-masing individu sesuai dengan kepribadian dan tahap perkembangannya.
- Kualitas penyesuaian diri yang dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi masyarakat dan kebudayaan tempat penyesuaian diri dilakukan.
- Adanya perbedaan dari masing-masing individu karena pada dasarnya setiap individu memiliki saat-saat yang baik dan buruk dalam melakukan penyesuaian diri, tidak terkecuali bagi individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjustment) karena terkadang ia pun dapat mengalami situasi yang tidak dapat dihadapi atau diselesaikannya.
B. Variasi Penyesuaian Diri
Schneiders (1964: 429) mengungkapkan setiap individu memiliki pola penyesuaian yang khas terhadap setiap situasi dan kondisi serta lingkungan yang dihadapinya. Bagaimana individu menyesuaikan diri di lingkungan rumah dan keluarganya, di sekolahnya, bagaimana individu dapat menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, serta cara menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial menentukan adanya variasi penyesuaian diri (Varietas of Adjustment), artinya adanya klasifikasi penyesuaian diri yang berdasarkan pada masalah dan situasi yang dihadapi dan berkaitan dengan tuntutan lingkungan. Empat variasi penyesuaian diri yang lebih penting dan krusial dalam kehidupan seorang manusia yaitu:
· Penyesuaian dengan dirinya sendiri (Personal Adjustment)
· Penyesuaian sosial (Social Adjustment)
· Penyesuaian diri dengan pernikahan (Marital Adjustment)
· Penyesuaian diri dengan pekerjaan (Vocational Adjustment)
C. Pengertian Penyesuaian Sosial
Remaja sebagai makhluk sosial dituntut memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik. Kegagalan remaja dalam menguasai kemampuan sosial akan menyebabkan remaja sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Schneiders (1964: 460) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai ”the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation”. Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial.
Lebih jelasnya, Schneiders (1964: 454-455) menyatakan ”Social adjustment signifies the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation so that the requirements for social living are fulfilled in acceptable and satisfactory manner”.
Lebih jelasnya, Schneiders (1964: 454-455) menyatakan ”Social adjustment signifies the capacity to react efectively and wholesomely to social realities, situation, and relation so that the requirements for social living are fulfilled in acceptable and satisfactory manner”.
Sedangkan Hurlock (1990) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Jourard (dalam Hurlock, 1990) salah satu indikator penyesuaian sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang.
Jadi, Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi, dan relasi sosial dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan sesuai ketentuan dalam kehidupan sosial.
Selain itu, penyesuaian didefinisikan juga sebagai proses yang mencakup respon mental dan perilaku di dalam mengatasi tuntutan sosial yang membebani dirinya dan dialami dalam relasinya dengan lingkungan sosial (Schneiders, 1964: 455).
Selanjutnya, Callhoun dan Accocella (Fauziah: 2004: 30) mendefinisikan bahwa penyesuaian sosial sebagai interaksi yang kontinyu dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia atau lingkungan sekitar. Sedangkan menurut Mu’tadin (2002: 3), penyesuaian sosial adalah kemampuan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan.
Berdasarkan beberapa definisi penyesusian sosial di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud penyesuaian sosial adalah kemampuan individu dalam mereaksi tuntutan-tuntutan sosial secara tepat dan wajar.
Schneiders (1964: 451) membagi penyesuaian sosial menjadi tiga bentuk, diantaranya sebagai berikut:
· Penyesuaian sosial di lingkungan rumah dan keluarga
· Penyesuaian sosial di lingkungan sekolah
· Penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat.
D. Karakteristik Penyesuaian Sosial yang Sehat
Scheneiders (1964: 51) mengemukakan beberapa kriteria penyesuaian yang tergolong baik (good adjusment) ditandai dengan:
1. Pengetahuan dan tilikan terhadap diri sendiri dan orang lain,
2. Obyektivitas dan penerimaan sosial,
3. Pengendalian diri dan perkembangan diri,
4. Tujuan dan arah yang jelas,
5. Perspektif, skala nilai dan filsafat hidup memadai,
6. Rasa humor
7. Rasa tanggung jawab sosial,
8. Kecakapan bekerja sama dan menaruh minat kepada orang lain,
9. Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain,
10. Perkembangan kebiasaan yang baik,
11. Adaptabilitas, kepuasan dalam bekerja dan bermain,
12. dan orientasi yang menandai terhadap realitas sosial.
Syamsu Yusuf (2000: 130) menyatakan penyesuaian yang sehat sebagai berikut:
- Mampu menilai diri secara realistik, yaitu mampu menilai diri sebgaimana adanya, baik kelebihan maupun kelemahan.
- Mampu menilai situasi secara realistik, yaitu mampu menghadapi situasi atau kondisi kehidupan secara realistik dan mampu menerimanya secara wajar.
- Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik, yaitu beraksi secara rasional.
- Menerima tanggung jawab, yaitu memiliki keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapi.
- Kemandirian, yaitu memiliki sikap mandiri dalam cara berpikir dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri secara konstruktif dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
- Dapat mengontrol emosi, yaitu merasa aman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif.
- Berorientasi tujuan, yaitu mampu merumuskan tujuan berdasarkan pertimbangan secara matang, tidak atas paksaan dari orang lain.
- Berorientasi keluar, yaitu bersifat respek, empati terhadap orang lain, mempunyai kepedulian terhadap situasi, masalah-masalah lingkungan.
- Penerimaan sosial, dinilai positif oleh orang lain, berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sifat bersahabat.
- Memiliki filsafat hidup, yaitu mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama.
- Berbahagia.
Sejalan dengan pendapat Syamsu Yusuf, Schneiders (1964: 51) mengemukakan ciri penyesuaian sosial yang baik sebagai berikut:
- Memiliki pengendalian diri yang tinggi dalam menghadapi situasi atau persoalan, dengan kata lain tidak menunjukan ketegangan emosi yang berlebihan.
- Tidak menunjukan mekanisme psikologis yang berlebihan, bertindak wajar dalam memberikan reaksi terhadap masalah dan konflik yang dihadapi. ampu mengolah pikiran dan perasaan dengan baik, sehingga menemukan cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya.
- Memiliki pertimbangan rasional dan pengendalian diri, memiliki kemampuan dasar berfikir serta dapat memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku yang diperbuat untuk mengatasi masalah yag dihadapinya.
- Mampu belajar sehingga dapat mengembangkan kualitas dirinya terutama dalam bersedia belajar dari pengalaman dan memanfaatkan pengelaman tersebut dengan baik.
- Mempunyai sikap realistik, objektif, dapat menilai situasi, masalah dan kekurangan dirinya secara objektif.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial terlihat dari ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial serta memiliki sikap-sikap yang menolak realitas dan lingkungan sosial. Siswa yang mengalami perasan ini merasa terasing dari lingkungannya, akibatnya ia tidak mengalami kebahagiaan dalam berinteraksi dengan teman-teman sebaya atau keluarganya.
Ketidakbahagiaan siswa kadang-kadang lebih karena masalah-masalah pribadi daripada masalah-masalah lingkungan, namun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan sosialnya, dalam hal ini penyesuaian sosial. Memiliki perasaan rendah diri, tidak mau menerima kondisi fisik, tidak memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri, maka ini pun dapat mengakibatkan remaja menolak diri, sehingga proses interaksi sosialnya pun akan terhambat. Jika siswa realistis tentang segala kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki, dan merasa bahagia pada orang-orang yang menerima mereka serta mampu mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada orang-orang tersebut, kemungkinan untuk merasa bahagia akan meningkat. Artinya bahwa siswa memiliki penyesuaian sosial yang sehat.
Siswa pada penelitian berada pada rentang usia 15-17 tahun, rentang usia tersebut termasuk pada masa remaja madya. Pada masa ini berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain (Yusuf, 2007: 198). Siswa memahami orang lain di sekitarnya sebagai individu yang unik, baik yang menyangkut fisik, sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai, maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong siswa untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran) (Yusuf, 2007: 198).
E. Aspek-Aspek Penyesuaian Sosial Siswa di Lingkungan Sekolah
Penyesuaian sosial siswa di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa mereaksi secara tepat realitas sosial, situasi, dan relasi sosial, sehingga mampu berinteraksi secara wajar dan sehat, serta dapat memberikan kepuasan bagi dirinya dan lingkungannya (Schneiders, 1964: 454).
Sekolah merupakan miniatur sosial bagi siswa, maka sekolah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membentuk suatu lingkungan sosial yang konstruktif dan kondusif bagi siswa, sehingga sekolah mampu mengantisipasi penyimpangan sosial-psikologis siswa. Di sekolah siswa tidak hanya mengalami perkembangan fisik dan intelektualnya saja, tetapi juga membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk bersosialisasi agar mencapai kematangan sosial dalam mempersiapkan dirinya menjadi orang dewasa yang memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang memadai.
Sekolah merupakan miniatur sosial bagi siswa, maka sekolah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk membentuk suatu lingkungan sosial yang konstruktif dan kondusif bagi siswa, sehingga sekolah mampu mengantisipasi penyimpangan sosial-psikologis siswa. Di sekolah siswa tidak hanya mengalami perkembangan fisik dan intelektualnya saja, tetapi juga membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk bersosialisasi agar mencapai kematangan sosial dalam mempersiapkan dirinya menjadi orang dewasa yang memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang memadai.
Yusuf (2007: 95) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai salah satu lingkungan sosial tempat individu berinteraksi, harus mampu menciptakan dan memberikan suasana psikologis yang dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti dia memiliki kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment) yang tepat.
Tuntutan dan realitas kehidupan sosial di sekolah akan direaksi secara berbeda-beda oleh masing-masing siswa, tergantung kemampuan penyesuaian sosial yang dimilikinya. Schneiders (1964: 454) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial yang dituntut dalam kehidupan sekolah, dengan tidak mempertimbangkan kebutuhan akademik, tidak jauh berbeda dengan penyesuaian sosial di lingkungan rumah dan keluarga, walaupun setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap keduanya. Selain itu, Schneiders (1964: 454) telah menyusun tuntutan lingkungan atau perilaku yang diharapkan dan yang berkaitan dengan realitas, situasi, dan relasi sosial, serta dihadapi oleh siswa di lingkungan sekolah, yang meliputi aspek-aspek dan indikator-indikator berikut:
- Kemampuan siswa menjalin hubungan persahabatan dengan teman di sekolah. Dalam aspek ini terdapat enam indikator, yaitu:
1. Siswa mampu menerima teman apa adanya
2. Kemampuan siswa mengendalikan emosi.
3. Kemampuan siswa bertanya terlebih dahulu.
4. Kemampuan siswa bersikap realistis.
5. Kemampuan siswa melakukan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
6. Siswa mampu melakukan tindakan yang tepat sesuai norma.
7. Kemampuan siswa mempertahankan hubungan persahabatan.
- Kemampuan siswa bersikap hormat terhadap guru, kepala sekolah, dan staf sekolah lainnya. Dalam aspek ini terdapat empat indikator, yaitu:
1. Siswa berbicara dengan volume suara yang lebih rendah daripada guru, kepala sekolah, dan staf sekolah yang lain.
2. Kemampuan siswa bertutur kata dengan sopan dan santun ketika berkomunikasi dengan guru, kepala sekolah, dan staf sekolah yang lain.
3. Kemampuan siswa dalam menjaga sikap ketika bertemu dengan guru, kepala sekolah, dan staf sekolah yang lain.
- Partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan sekolah. Dalam aspek ini, terdapat dua indikator, yaitu:
1. Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.
2. Partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
- Bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah. Dalam aspek ini terdapat dua indikator, yaitu:
1. Memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan di sekolah.
2. Mematuhi dan menaati peraturan yang berlaku di sekolah.
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dan Sosial
Kemampuan penyesuaian diri dan sosial setiap individu berbeda-beda, adapun yang membedakan hal tersebut dapat dikarenakan faktor-faktor berikut ini (Schneiders, 1964: 122):
a. Kondisi Fisik
Meliputi faktor keturunan (hereditas), kesehatan fisik, dan sistem fisiologis tubuh. Individu yang berada dalam kondisi yang baik akan lebih mudah melakukan penyesuaian dibandingkan dengan individu yang sedang sakit, mengalami atau memiliki cacat tubuh, kelemahan fisik, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Individu yang memiliki kekurangan yang berkaitan dengan fisik dapat mengalami perasaan-perasaan yang tidak adekuat, tertutup (inferiority), atau justru perhatian yang berlebihan terhadap fisiknya. Hal-hal tersebut seringkali menjadi penghambat dalam melakukan penyesuaian diri maupun penyesuaian sosial.
b. Perkembangan dan Kematangan
Meliputi faktor kematangan intelektual, sosial, moral, dan kematangan emosional. Individu yang lebih matang secara emosional akan lebih mudah melakukan penyesuaian dibandingkan dengan individu yang kurang matang, karena ia mampu mengendalikan diri dan bereaksi lebih tepat dan sesuai situasi yang dihadapi.
c. Faktor Psikologis
Meliputi pengalaman, proses belajar, pengkondisian, self-determination, frustasi, dan konflik. Selain itu, pengalaman pada individu yang menjadikan proses belajar dapat mempengaruhi penyesuaian individu tersebut. Individu menjadi tahu dan merasakan apa yang telah dialami dan dijadikan pembelajaran agar dapat melakukan penyesuaian diri maupun sosial yang tepat.
d. Kondisi Lingkungan
Meliputi kondisi rumah, keluarga, dan sekolah. Pengaruh lingkungan rumah dan keluarga sangat penting karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama untuk individu. Posisi dalam keluarga, jumlah anggota keluarga, peran dalam keluarga, dan relasi dengan anggota keluarga lain akan mempengaruhi kebiasaan, sikap, dan pola perilaku individu. Begitupun halnya dengan sekolah yang juga memberikan pengaruh yang kuat pada kehidupan intelektual, sosial, dan moral individu.
e. Faktor Budaya
Meliputi juga ada istiadat dan agama yang turut mempengaruhi penyesuaian diri dan sosial seseorang. Karakteristik budaya yang diturunkan kepada individu melalui keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat turut mempengaruhi pola perilaku individu yang bersangkutan.
G. Masalah-Masalah Penyesuaian Sosial Siswa
Mappiare (1982: 92-93) mengemukakan hal-hal penting dalam perkembangan pribadi, sosial dan moral remaja yaitu sebagai berikut.
Pertama; masa remaja merupakan masa yang kritis bagi pembentukan kepribadiannya. Kritis, disebabkan karena sikap, kebiasaan dan pola perlakuan sedang di mapankan, dan ada atau tidak adanya kemapanan itu menjadi penentu apakah remaja yang bersangkutan dapat menjadi dewasa dalam artian memiliki keutuhan atau tidak. Kedua; penerimaan dan penghargaan secara baik orang-orang sekitar terhadap diri remaja, mendasari adanya pribadi yang sehat, citra diri positif dan adanya rasa percaya diri remaja. Demikian pula, pribadi sehat, citra diri positif dan rasa percaya diri yang mantap bagi remaja menimbulkan pandangan (persepsi) positif terhadap masyarakatnya, sehingga remaja lebih berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Ketiga; kemampuan mengenal diri sendiri disertai dengan adanya usaha memperoleh citra diri yang stabil, mencegah timbulnya tingkah laku yang over kompensasi ataupun proyeksi, sekaligus dapat menanamkan moral positif dalam diri remaja.
Siswa harus mampu menyesuaikan diri dengan segala kondisi dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya. Tetapi, tidak semua siswa selalu berhasil dalam proses penyesuaian sosial. Banyak masalah-masalah yang muncul dihadapi siswa seiring dengan proses perkembangannya yang berlangsung sepanjang hayat.
Abin Syamsuddin (2000:137) mengemukakan mengenai masalah-masalah yang dihadapi remaja berkaitan dengan segala aspek perkembangannya yaitu sebagai berikut.
- Munculnya kecanggungan-kecanggungan dalam pergaulan akibat adanya perbedaan dalam perkembangan fisik; munculnya sikap penolakan diri (self rejection) akibat body imagenya tidak sesuai dengan gambaran diri yangsesungguhnya; timbulnya gejala-gejala emosional tertentu seperti perasaan malu karena adanya perubahan suara (laki-laki) dan peristiwa menstruasi (perempuan); munculnya prilaku-prilaku seksual yang menyimpang pada remaja yang tidak terbimbing oleh norma.
- Munculnya sikap negatif terhadap pelajaran dan guru bahasa asing tertentu pada remaja yang mengalami kesulitan dan kelemahan dalam mempelajari bahasa asing; timbulnya masalah underachiever (remaja yang memiliki prestasi di bawah kapasitasnya) atau inferiority complex (rasa rendah diri) pada remaja yang tidak pernah tuntas.
- Timbulnya masalah juvenile delinquency ketika keterikatan hidup dalam gang (peers group) tidak terbimbing; tidak senang di rumah bahkan minggat ketika terjadi konflik dengan orang tua.
- Mudah sekali digerakkan untuk melakukan kegiatan destruktif yang spontan untuk melampiaskan ketegangan emosionalnya; ketidakmampuan menegakkan kata hatinya membawa akibat sukar menemukan identitas pribadinya.
Sumber:
Chaplin,J.P. (a.b. Kartini Kartono). (2001). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Fauziah, H. (2004). Pengembangan Program Bimbingan Penyesuaian Sosial. Skripsi Jurusan PPB FIP UPI Bandung. Tidak diterbitkan.
Hurlock, Elizabeth B., Alih Bahasa : Med Meitasari T dan Muslichah Z., 1990. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta : Erlangga.
http://www.sarjanaku.com/2012/06/pengertian-penyesuaian-diri-definisi.html
Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston.
Syamsuddin, A. (2000). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Schneiders, A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Rinehart & Winston.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar