Secangkir Kopi
Adi Nugroho
Tuangkan segelas
kopi hitam,legam,juga malammalam. Taburkan beberapa butir gulagula, yang membuat kita gila sebab memilih bersama. Aduklah dengan perlahan seperti dulu aku mendekatimu, berhentilah disaat kau rasa cukup. Sebab gula tak patut larut seluruhnya, biarkan kita menengok kembali apa yang telah kita lakukan. Berbekaskah ia? begitu juga kita pada cinta, mengejar cinta tidak bisa selamanya, sampai kita larut habis, mati tak bersisa kita. Sebab cinta bermukim pada batasbatas yang tak mudah dilihat, rasakan ia dengan hati. Seperti mengaduk kopi yang kau rasa perlu sudahi dan tibalah waktu kau seduh di bibir gemburmu.
Ku aduk segelas kopi
bercampur ragu bertabur gula batu
kuaduk berputar dalam ruang waktu,
lalu
kehampaan ada dalam tiap putaran itu...
Gula melarut air memanis..
Terangkat sendok besi,memanja gelas kaca,
relung kaca yang kelindan
Mata air air mata yang sedusedan
larut dalam kedipan bersama gula
Secangkir kopi, merangkum elegi berbulirbulir pasir. kau hanya mengenal kopi pekat, yang sedianya kau pesan dan siapkan: lewat sandiwara kita dari meja makan ke meja makan. Dan kau bilang “Cinta kita bermula dari meja makan, yang sewaktuwaktu perlu kita singgahi untuk membicarakan aku, kau, dan cinta” sebab itu Kau pilihkan aku kopi hitam pekat, yang membuatku terjaga dan terikat padamu. Mata yang terjaga membaca buah ceri merah di bawah hidungmu.
Pada
secangkir kopi, kita sepakati perjalanan hari. Pada segelas kopi yang ketas, kita berjanji bahwa semua selesai, ketika ada cinta. Pada deras panas gelas kopi, kita mencatat tentang halhal yang akan menjadi rahasia kenangan. Sebab hidup adalah memilah kenangan. Meski nanti, resah saat segalanya pergi dan tak kembali. Dan secangkir kopi, membuat kita terjaga pada cinta.
Tak perlu kita habiskan kopi
Sebab nanti
Kita akan kembali ke sini
Meski sekadar mengusap air mata yang tertumpah
Pada meja makan tua ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar