UNTUK CLOSE : KLIK LINK IKLAN DI BAWAH 1 KALI AGAR MELIHAT FULL ARTIKEL ^^


Senin, 13 September 2010

Bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia

Bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia
Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
Pikiran Rakyat, 19 Jun 2010.

Perkembangan bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Indonesia menarik untuk diperbandingkan dengan perkembangan bahasa Melayu setelah menjadi bahasa Malaysia. Ternyata masing-masing menghadapi tantangan yang berbeda. Di Indonesia, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak ada saingan, walaupun terdapat ratusan bahasa ibu di seluruh wilayahnya, padahal bahasa Melayu ketika dinobatkan sebagai bahasa nasional berhadapan dengan bahasa Jawa dan Sunda yang digunakan lebih banyak penutur dan mempunyai sejarah serta kesusastraan lebih kaya.

Namun, bahasa Indonesia menghadapi dan mendapat pengaruh terutama dari bahasa Jawa yang penuturnya adalah suku bangsa terbesar di Indonesia dan bahasa Betawi atau Jakarta yang menjadi ibu kota negara. Harus diakui bahwa pengaruh yang paling besar datang dari bahasa Jawa dan bahasa Betawi. Pengaruh tersebut menyebabkan kian besarnya perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yaitu bahasa Melayu yang dijadikan bahasa kebangsaan Malaysia. Kalau asalnya perbedaan itu karena perbedaan bangsa yang menjajah — Indonesia dijajah Belanda dan Malaysia dijajah Inggris sehingga bahasa Indonesia banyak dipengaruhi bahasa Belanda sedangkan bahasa Malaysia dipengaruhi bahasa Inggris — maka sekarang perbedaan itu terutama karena besarnya pengaruh bahasa Jawa dan bahasa Betawi ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara itu, pengaruh bahasa Belanda kian berkurang, pengaruh bahasa Inggris kian menghebat ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun orang Indonesia belum mempergunakan “I” sebagai kata ganti orang pertama seperti orang Malaysia, kata ganti orang kedua you kian sering terdengar. Pemakaian kata-kata dan ungkapan-ungkapan bahasa Inggris di tengah percakapan — bahkan tulisan — kian banyak digunakan.

Karena bahasa Indonesia tidak mempunyai saingan sebagai bahasa nasional, tak ada yang mengkhawatirkan masa depannya. Karena bahasa Indonesia itu mudah dipelajari, tidak ada yang menganggap perlu mengawasi pembelajaran bahasa Indonesia secara cermat dan meneliti hasilnya dalam masyarakat. Karena bahasa Indonesia dianggap masih harus diperkembangkan, setiap orang dengan semaunya memperkaya khazanah kata bahasa Indonesia dengan memasukkan kata-kata asing (terutama dari bahasa Inggris), padahal kata-kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Karena bahasa Indonesia dianggap dengan sendirinya telah dikuasai setiap orang Indonesia (walaupun mereka sedikit sekali membaca buku), jarang sekali ada orang yang merasa perlu membuka kamus karena mereka pun tidak merasa perlu mempunyai kamus bahasa Indonesia.

Maka, kemampuan berbahasa nasional bahkan di kalangan elite bangsa Indonesia kian menyedihkan. Pemerintah sendiri merasa cukup dengan mendirikan Pusat Bahasa yang tidak kelihatan memperhatikan perkembangan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak didukung oleh perpustakaan sekolah yang memadai yang isinya terutama harus buku-buku karya sastra yang telah menjadi kanon kesusastraan nasional. Perlunya anak-anak didik digalakkan membaca karya sastra utama agar mereka dapat belajar bagaimana menyusun kalimat yang baik, yang dalam masyarakat baik secara lisan melalui radio dan televisi maupun yang tertulis dalam surat-surat kabar dan majalah sukar dijumpai.

Bahasa Malaysia

Karena di Malaysia bahasa Inggris lebih diutamakan sebagai warisan dari masa penjajahan, di samping itu orang-orang Cina dan India yang jumlahnya setengah jumlah penduduk lebih suka mempergunakan bahasa Mandarin atau Tamil, pemerintah merasa perlu memberikan dukungan penuh terhadap perkembangan bahasa kebangsaan Malaysia. Ketika menjadi negara Merdeka (Persekutuan Tanah Melayu sebelum kemudian menjadi Malaysia), mereka meniru pemerintah Hindia Belanda mendirikan penerbit buku yang menyediakan bahan bacaan bagi masyarakatnya dalam bahasa kebangsaan yang mereka namakan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Pola yang ditiru adalah Balai Pustaka (BP) di Indonesia. Akan tetapi, sementara yang dijadikan contoh sendiri tidak mendapat perhatian dari pemerintah RI, DBP berkembang terus. Bukan hanya menerbitkan buku, melainkan juga majalah, yaitu Dewan Bahasa yang khusus memuat tulisan mengenai bahasa, Dewan Sastera yang khusus untuk sastra, Dewan Budaya yang lebih luas, dan Dewan Masyarakat yang bersifat umum. Pada masa sebelum perang, BP menerbitkan majalah mingguan Pandji Poestaka (basa Melayu), Kejawen (basa Jawa), dan Parahiangan (basa Sunda), di samping almanak tahunan. Akan tetapi, sesudah pemerintah RI berdiri, BP tidak lagi menerbitkan majalah, kecuali Kunang-kunang (untuk anak-anak) dan Pembimbing Pembaca tetapi hanya beberapa tahun. DBP mengundang sarjana-sarjana dari negeri asing (termasuk dari Indonesia) untuk mengadakan penelitian dan menerbitkannya menjadi buku.

Sejak 1971, pemerintah Malaysia juga menyediakan Hadiah Sastra tahunan untuk berbagai macam karya sastra dan hadiah itu berlangsung secara ajek sampai sekarang. Hasilnya dibukukan oleh DBP. Kerajaan Malaysia juga menyediakan tenaga pengajar untuk berbagai universitas di negeri asing yang membuka pelajaran bahasa dan budaya Malaysia. Kerajaan Malaysia juga membentuk lembaga Sasterawan Negara, yaitu menghargai sastrawan yang karya-karyanya dianggap besar artinya bagi perkembangan sastra dan budaya bangsa. Sasterawan Negara di samping buku-bukunya dibeli untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan sekolah di seluruh negeri, juga mendapat berbagai fasilitas untuk kemudahan hidupnya. Hal-hal demikian tidak pernah dilakukan oleh pemerintah RI.

Yang istimewa adalah terbentuknya Gapena (Gabungan Persatuan Penulis Nasional) pada 23 Oktober 1970. Gabungan persatuan penulis yang tadinya didirikan oleh 14 persatuan penulis itu berkembang dengan pesat sehingga kemudian di setiap negara bagian ada persatuan penulis yang menjadi anggotanya. Di bawah Ketua I Tansri Ismail Hussein, Gapena bukan saja dapat memperoleh bantuan dari pemerintah federal, melainkan juga dapat mengadakan kerja sama dengan para Menteri Besar di setiap negara bagian sehingga mereka membantu apabila Gapena mengadakan pertemuan tahunan baik berupa Hari Sastera ataupun lainnya. Dia pada 1990 menulis, “Bagi bangsa Melayu di Malaysia, tanggung jawab kita yang utama tentulah kepada ’Duna Melayu’, yaitu untuk menjaga perpaduan asasi antara Islam dan kebudayaan Melayu, dalam membinanya sebagai dasar kebudayaan kebangsaan dan serantau.” (lihat Anugerah Sastera Mastera 2006 [Malaysia], KL, DBP, 2006. hlm. 80).

Sayanglah bahwa menjelang akhir masa jabatannya, PM Dr. Mahathir menganjurkan kembali pemakaian bahasa Inggris di lingkungan universitas dan keilmuan, dengan maksud agar orang Melayu tidak kalah bersaing dengan orang-orang Cina maupun India.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar