UNTUK CLOSE : KLIK LINK IKLAN DI BAWAH 1 KALI AGAR MELIHAT FULL ARTIKEL ^^


Senin, 13 September 2010

Cina dan China Rubrik Bahasa Ajip Rosidi

Cina dan China

Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.
Pikiran Rakyat, 12 Jun 2010.

Sebelum Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diresmikan kita menulisnya “Tjina”, sesudah EYD diresmikan kita menulisnya “Cina”, karena “tj” diganti dengan “c”. Akan tetapi sebagian dari orang Cina peranakan di Indonesia menganggap kata “Cina” itu mengandung penghinaan. Mereka lebih suka mempergunakan kata “Tionghoa” untuk menyebut nama bangsa dan nama bahasanya dan “Tiongkok” untuk menyebut nama negaranya. Tidak pernah jelas penghinaan apa yang terkandung dalam kata “Cina” itu. Namun anehnya, mereka sendiri kalau berbicara dalam bahasa Inggris menggunakan kata “China”. Begitu juga untuk menyebut nama bangsa dan nama negaranya, baik yang di benua Asia (People’s Republic of China) maupun yang di pulau Taiwan (Republic of China). Yang ganjil kalau dalam bahasa Indonesia dianggap mempunyai unsur menghina, tetapi dalam bahasa Inggris disambut baik. Artinya tidak dianggap mengandung unsur menghina. Padahal pemakaian kata “Cina” dalam bahasa Melayu sejak dahulu dianggap wajar saja. Kata “Cina” dalam bahasa Melayu sampai masuk ke dalam peribahasa dan menjadi ungkapan yang biasa digunakan sehari-hari tanpa ada kandungan penghinaan, misalnya peribahasa yang berbunyi “bagai Cina karam” atau ungkapan “baju potongan Cina”. Dalam bahasa Sunda juga ada peribahasa yang berbunyi “jiga Cina dipangwayangkeun”.

Menurut perkiraan saya, timbulnya anggapan bahwa perkataan “Cina” itu mengandung penghinaan, sejak orang-orang Cina di Indonesia mau disebut “Tionghoa” dan negerinya harus disebut “Tiongkok”, yaitu pada zaman Demokrasi Terpimpin ketika Baperki kian berpengaruh, karena dari lingkungan itulah mulai timbul anggapan bahwa kata “Cina” itu mengandung penghinaan. Jadi hanya sebagai alasan, karena dalam masyarakat pengguna bahasa Melayu dan Indonesia sendiri tidak ada maksud menghina atau merendahkan dengan memakai istilah “Cina” itu. Hanya orang Cina tertentu (artinya tidak semua) dan para Indonesianis semacam Ben Anderson yang menganggap kata “Cina” mengandung penghinaan.

Akan tetapi belakangan ini dalam sejumlah surat kabar dan majalah perkataan “Cina” itu diganti menjadi “China”. Konon karena surat kabar terkemuka di Jakarta pernah ditegur atau diminta oleh pejabat dari kedutaan besar RRC agar jangan menggunakan perkataan “Cina”. Sebagai lembaga yang merasa tidak berdaulat dalam menggunakan bahasa nasionalnya, maka surat kabar itu mengikuti teguran atau permintaan itu dan dalam surat kabarnya sejak itu “Cina” selalu ditulis “China”. Dan karena surat kabar itu yang paling terkemuka di Indonesia, maka surat-surat kabar lain baik di Jakarta maupun di daerah tanpa diminta oleh pejabat kedutaan yang bersangkutan, secara sukarela menyalahi EYD dalam menuliskan kata tersebut dengan “China”.

Yang lebih ajaib ialah cara kata tersebut diucapkan. Dalam televisi kita dengar ada orang yang mengucapkannya sesuai dengan cara perkataan tersebut diucapkan dalam percakapan sehari-hari oleh orang biasa di pasar atau di surau. Tetapi ada juga yang mengucapkannya seperti dalam bahasa Inggris, yaitu “Caine”. Sementara itu tidak kurang yang mengucapkannya dengan “Caina”. Dan kalau yang dimaksud “orang China” sekarang biasa digunakan istilah Inggris “Cainis” (Chinese).

Peristiwa itu menunjukkan betapa mudahnya kita menyesuaikan diri dengan kehendak orang lain, terutama kalau orang lain itu termasuk bangsa yang dianggap lebih kuat kedudukannya dari kita, sehingga kita lupa bahwa kita harus membela kedaulatan kita dalam berbahasa, termasuk mengatur ejaan dalam menuliskan kata-kata yang sudah menjadi perbendaharaan bahasa kita. Bukankah kita juga tidak meminta orang Cina dalam bahasanya menuliskan nama bangsa dan negara kita agar sesuai dengan kehendak kita, padahal dengan huruf cakar ayam itu entah bagaimana bunyi “Indonesia” mereka ucapkan.

Kita selalu ingin menjadi “orang baik” menurut orang lain, tetapi lupa bahwa kita sendiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat harus menentukan apa yang baik bagi kita. Memang sebagai bangsa yang lama menjadi jajahan orang lain, kita selalu terbiasa ingin disebut baik oleh orang lain, yaitu oleh bangsa yang menjajah kita. Oleh karena itu, kita tidak mempunyai tolok-ukur untuk memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak. Dengan kata lain kita terbiasa menjadi objek, padahal sebagai bangsa merdeka dan berdaulat kita harus menjadi subjek. Mengubah mentalitas sebagai objek menjadi subjek memang tidak mudah. Apalagi dalam terjangan globalisasi yang datang dengan dukungan modal kuat dan menggunakan sarana teknologi mutakhir yang maju.

Kita tidak tahu apakah ada pegawai Kedutaan Besar Cina di Kualalumpur yang meminta pers di sana agar menuliskan nama negeri dan bangsanya dengan “China” seperti dalam bahasa Inggris. Yang jelas dalam bahasa Melayu sampai sekarang orang tetap menuliskannya “Cina” – sesuai dengan EYD yang juga mereka pakai.

Ada kemungkinan tidak ada pegawai Kedutaan Besar Cina di Kuala Lumpur yang merasa terganggu dengan tulisan “Cina” sehingga tidak mengusulkan agar diganti dengan “China” seperti dalam bahasa Inggris. Ada juga kemungkinan ada pegawai Kedutaan Besar Cina di sana yang meminta wartawan surat kabar Melayu agar jangan menulis “Cina” tetapi harus “China”, hanya wartawan yang bersangkutan menganggap bahwa soal bagaimana menulis sesuatu dalam bahasanya bukanlah urusan orang Cina, sehingga usul atau permintaan itu tidak dipenuhi. Artinya wartawan Melayu itu mempunyai harga diri dan menyadari kedudukannya sebagai bangsa yang berdaulat yang berhak mengatur cara penulisan sesuatu dalam bahasanya sesuai dengan aturan yang berlaku. Tentu saja sikap demikian tidak usah dihubungkan dengan kenyataan bahwa orang Malaysia yang mempunyai perkebunan, sedangkan TKI Indonesia bekerja mencari makan.

Peribahasa klasik yang berbunyi bahwa kalau kita ingin dihargai orang lain, kita harus tahu menghargai diri sendiri, tampaknya telah dilupakan oleh banyak orang termasuk oleh wartawan surat kabar paling terkemuka di Jakarta. Atau tidak sampai dia mengerti karena mentalitasnya adalah mentalitas manusia jajahan yang merasa senang tetap menjadi objek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar