Buat apa anak-anak kelas 4 Sekolah Dasar (SD) diajari pengetahuan tentang lembaga negara? Apakah sudah saatnya mereka dicekoki materi tentang perundangan, Mahkamah Konstitusi, atau Mahkamah Agung? Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam itu coba dijawab oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Hingga akhirnya muncul kesimpulan, materi semacam itu akan memberatkan bocah-bocah SD.
"Terus untuk apa anak-anak SD tahu hal-hal seperti itu? Anak SD itu diajarkan membaca dan menulis, lalu disempurnakan terus sampai seterusnya. Bagi adik-adik (siswa SD) yang memiliki kemampuan inovasi tinggi misalnya, harus diajari dengan lebih kreatif, pendekatan membangkitkan kreatifitas," kata Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh ketika dihubungi merdeka.commelalui telepon selulernya Kamis pekan lalu.
Caranya, dia melanjutkan, harus menggunakan pendekatan keilmuan. Misalnya, anak harus dibiasakan melatih inderawi; melakukan observasi dan bereksperimen, kemudian bertanya, melatih nalar, berfikir, kemudian mengkomunikasikan dengan baik. Sehingga kelak mereka merasa pernah melakukan sesuatu.
Contohnya pelajaran sederhana, mengamati situasi sekitar kelas, ada tanaman, tembok, dan pagar. "Misalnya ada pagar diamati. Kenapa harus ada pintu dan kenapa pintu harus terbuka kiri dan kana? Siswa SD harus diajak berfikir. Tidak harus menggunakan labpratorium canggih," ujar Nuh.
Selain persoalan materi, mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), ini menjelaskan beberapa alasan lain perubahan kurikulum. Misalnya untuk mempersiapkan kebutuhan kompetensi ke depan.
Bicara kualitas pendidikan, agaknya omongan Nuh ada benarnya. Lihat saja hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC). Lembaga survei independen berbasis di Hongkong itu menempatkan Indonesia di urutan paling buncit dari 12 negara di Asia dengan kualitas pendidikan paling rendah. Menurut laporan United Nation Development Program (UNDP) pada 2005, kualitas pendidikan Indonesia berada di posisi ke-110 dari 117 negara.
Peringkat itu belum beranjak dari hasil survei The World Economic Forum Swedia lima tahun sebelumnya. Lembaga itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan daya saing rendah, hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara disurvei. Itu baru urusan kualitas pendidikan, belum menyinggung sikap dan perilaku siswa. Sepanjang tahun lalu, sejumlah siswa meregang nyawa karena tawuran.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kurikulum sekarang cocok untuk sepuluh tahun ke depan? Setelah ditelisik, Nuh melanjutkan, rupanya kurikulum masih bisa disempurnakan. Ada beberapa lubang pada kurikulum sebelumnya dan harus disempurkan lebih baik lagi. Tujuanya agar siswa lebih siap menghadapi tantangan kompetensi mendatang (merdeka.com).
Caranya, dia melanjutkan, harus menggunakan pendekatan keilmuan. Misalnya, anak harus dibiasakan melatih inderawi; melakukan observasi dan bereksperimen, kemudian bertanya, melatih nalar, berfikir, kemudian mengkomunikasikan dengan baik. Sehingga kelak mereka merasa pernah melakukan sesuatu.
Contohnya pelajaran sederhana, mengamati situasi sekitar kelas, ada tanaman, tembok, dan pagar. "Misalnya ada pagar diamati. Kenapa harus ada pintu dan kenapa pintu harus terbuka kiri dan kana? Siswa SD harus diajak berfikir. Tidak harus menggunakan labpratorium canggih," ujar Nuh.
Selain persoalan materi, mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), ini menjelaskan beberapa alasan lain perubahan kurikulum. Misalnya untuk mempersiapkan kebutuhan kompetensi ke depan.
Bicara kualitas pendidikan, agaknya omongan Nuh ada benarnya. Lihat saja hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC). Lembaga survei independen berbasis di Hongkong itu menempatkan Indonesia di urutan paling buncit dari 12 negara di Asia dengan kualitas pendidikan paling rendah. Menurut laporan United Nation Development Program (UNDP) pada 2005, kualitas pendidikan Indonesia berada di posisi ke-110 dari 117 negara.
Peringkat itu belum beranjak dari hasil survei The World Economic Forum Swedia lima tahun sebelumnya. Lembaga itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan daya saing rendah, hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara disurvei. Itu baru urusan kualitas pendidikan, belum menyinggung sikap dan perilaku siswa. Sepanjang tahun lalu, sejumlah siswa meregang nyawa karena tawuran.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kurikulum sekarang cocok untuk sepuluh tahun ke depan? Setelah ditelisik, Nuh melanjutkan, rupanya kurikulum masih bisa disempurnakan. Ada beberapa lubang pada kurikulum sebelumnya dan harus disempurkan lebih baik lagi. Tujuanya agar siswa lebih siap menghadapi tantangan kompetensi mendatang (merdeka.com).
Baca Juga Artikel Pendidikan Lainnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar